dropdown

Minggu, 14 Agustus 2016

MANUSIA DAN ETIKA (Sebuah Kajian Filosofis Manusia Perspektif Su-isme Internal dan Eksternal )




Oleh: Moch. Syamsul Arifin. Zrt*

“ Bonum Est Faciendum et Procequendum, et Malum Vitandum ”
( Yang baik harus dilakukan dan diusahakan, dan yang buruk harus ditinggalkan, dan yang baik adalah apa yang disetujui oleh umat manusia )
Thomas Aquinas: 1225-1274

Pendahuluan
Filsafat merupakan seperangkat pengetahuan dengan beberapa cabang yang mempunyai orientasi untuk memperoleh atau sekedar mencari dan mencintai kebenaran yang objeknya adalah Tuhan, alam, dan manusia dan subjek pemikirnya adalah menusia, karena disamping manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya dengan diberikannya ilmu wal-amal[1] atau dengan kata lain; akal dan implentasinya, yakni emosional cuotiont, hasrat atau nafsu, dan diberi kekuasaan oleh Tuhan dalam memimpin atau mengelola Bumi[2]―yang dalam hal ini Fredrich Nithce mengungkapkan Der Will Ubermenc”, bahwa manusia makhluk yang berkehendak atau dalam bahasa inggrisny Will to Power―, juga manusia sebagai makhluk Homo Guriosus atau makhluk yang selalau mempunyai keingin-tahuan[3], maka dari rasa ingin tahu itulah manusia berfikir yang kemudian menjadi salah satu penyebab kemunculan filsafat.
Sebagai makhluk kepercayaan Tuhan, tentunya manusia harus berfikir jernih dalam mengendalikan alam, yakni dalam bertindak, manusia diberi batasan-batasan yang hal itu ditentukan oleh wahyu (perspektif agama: redaksional) dan pemikiran manusia (perspektif rasional) yang bertujuan mencapai kehidupan yang sejahtera yang kemudian memunculkan keindahan dan kesejahteraan dalam kehidupan sosial.
            Dalam kajian filsafat (tentang manusia) tentunya kita pernah mendengar cabang-cabang filsafat yang di antaranya Etika dan Estetika, memang keduannya mempunyai definisi subtansial[4] yang sama, yakni nilai keindahan yang ada pada manusia dan alam[5], namun perbedaannya, etika sebuah nilai keindahan yang melekat (internal diri) pada manusia yang diwujudkan dengan tingkah laku atau perbuatan-perbuatan yang kemudian disebut dengan moral, akhlaq, dan sebagainya, sedangkan estetika merupakan nilai keindahan yang melekat pada alam atau suatu benda yang dikeluarkan atau diciptakan oleh (eksternal dari) manusia yang merupakan perwujudan dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang biasa disebut dengan seni atau karya seni.

Manusia Ber-Etika
Secara epishtemologis, memang Etika yang berasal dari bahasa latin eticut  bagian dari cabang filsafat yang nilai kebenarannya bertolak belakang dengan agama, yang berkenaan dengan pembangunan pondasi rasional bagi tindakan-tindakan moral[6], namun bukan berarti agama tidak angkat bicara dan diam menanggapi satu kata yakni; etika, karena selain etika merupakan sebuah kajian tentang prilaku manusia, juga kalu kita merefresh kembali fikiran kita terhadap teori-teori agama salah satu contoh sabda Muhammad SAW “inniy bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” bahwasanya beliau diutus oleh Tuhan untuk menyempurnakan akhlaq atau dengan kata lain menata moral seorang hamba yang kemudian dibahas oleh pemikir-pemikir Islam yang kemudian memunculkan beberapa literature dalam Islam yang khusus atau sebagian isinya mengulas seputar prilaku manusia seperti; Taysirul Khalaq, Akhlaq Lil-Banin, Ihya’ Ulumud Din, Risalatul Mu’awanah, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini-pun—bukan hanya tokoh pemikir yang konsentrasi pemikiran atau disiplin ilmu-nya mengkhususkan kajian etika atau kajian sosial—seorang filusuf sekaligus tokoh pemikir pendidikan inggris; Herbert Spencer juga menyoroti prihal tetntang etika yakni dengan ucapannya Tujuan terbesar dalam pendidikan bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan[7]”, namun sebarapa banyak atau seberapa besar peranan tatanan moral yang telah terkonsep dalam agama (doktrin wahyu) dan rasio (ilmiyah; konsep sosial para pemikir Yunani, Islam, dan Barat yang tidak merujuk kepada wahyu), hal itu mempunyai pengaruh yang minim terhadap perilaku manusia, karena yang bisa mengatur perilaku manusia adalah manusianya itu sendiri[8], yang dalam firman Tuhan disebutkan “inallaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bi,anfusihim[9].
Dalam hal ini (Red: Etika) PMII yang merupakan organisasi kemahasiswaan yang mempunyai nilai ke-Islaman dan ke-Indonesia-an telah memberikan konsep tersendiri tentang etika yang merupakan interpretasi dari Nilai Dasar Pergerakan (NDP), yakni pertama,  Etika kepada Tuhan. Manusia sebagai makhluq Tuhan yang mempunyai nilai spiritual dalam dirinya yang kemudian muncul hubungan vertikal (hablum minal Ilah), maka sangat diperlukan selain meyakini eksistensi Tuhan tehadap kehidupan, juga memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhan sebagai Pencipta dengan beribadah dan mengabdi kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya “Wama Khalaqtul Jinna Wal Insa Illa Liya’buduniy”, kedua. Etika kepada sesama manusia. Manusia sebagai makhluq sosial yang saling membutuhkan dan tidak dapat hidup kecuali berdampingan dengan manusia yang lain yang memunculkan istilah hubungan horizontal (hablum minan nas), maka diperlukan untuk mensinergikan tatanan sosial, dengan tidak berpecah belah dan menjaga persatuan antar sesama. Perbedaan pendapat terhadap sebuah persoalan itu hal yang wajar, putus cinta adalah hal yang biasa dalam hubungan percintaan, namun bagaimana dengan konflik-konflik itu manusia bisa menjaga keharmonisan sosial dan menjaga tali silaturrahim antar sesama manusia sebagaimana firman Tuhan “Wa’tashimu Bihablillahi Jami’aw Wala Tafarraqu…[10], dan ketiga, Etika terhadap alam semesta. Dalam membina keselarasan hubungan horizontal, selain manusia selain makhluq sosial yang butuh kepada manusia lain, manusia juga tidak bisa lepas begitu saja dengan lingkungan (red; alam), yang kemudian kita kenal (hablum minal alam), karena selain alam merupakan tempat berpijak bagi manusia hidup, juga alam menjadi penopang dan pendukung biologis bagi kehidupan, oleh karena itu manusia harus melestarikan alam sebagaimana firman Tuhan “wala tufsidu fil-ardl ba’da ishlahiha; janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptkan dengan) baik[11]dengan menjaga kebersihan lingkungan, reboisasi, dan lain sebagainya. Mahasiswa Islam Indonesia sebagai makhluq yang beragama yang bukan sembarang makhluq dan bukan sembarang agama, selayaknya ketiganya itu (Etika kepada Tuhan, Manusia, dan Alam) didasari dengan keTAUHID-an dengan tujuan mensetralisasi diri kepada Tuhan agar fikiran dan tindakan dapat terarah dan tetap berada di jalan-Nya.

Semoga bermanfa’at
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Tharieq


Disampaikan pada acara Safari Ramadlan dan Buka Bersama, PC PMII Kab. Malang,
Pada Tanggal 22 Agustus 2010 dengan tema “Etika dan Estetika”


[1] Syaikh Ibrahim bin Isma’il Az-Zarnujiy, Ta’limal Muta’allimi Thariqat Ta’allumi, hlm. 2
[2] Lih. QS. Al-Baqarah[002]: 30
[3] Alfatih Geusang. R, Bengkel Ilmu Filsafat, hlm. 6
[4] Dalam kajian Logika definisi terbagi dua macam yakni; definisi aksidental dan definisi subtansial
[5] Bagian dari statement penulis

[6] Stephen Palmquist, The Tree of Philosophy; A cours of Introductory Lectures for Beginning Students of

   Philosophy, (alih bahasa, Moch. Shodiq, Filsafat Mawas; Kuliyah Filsafat Umum untuk Pemula), hlm. 164

[7]  Kevin Hogan, “The Psychology of Persuasiaon”, (alih bahasa Anton Adiwiyoto, Psikologi Persuasi), hal, 25.
[8]  Merupakan interpretasi dari ucapan Cicero Yang senantiasa berubah adalah perubahan itu sendiri
[9]  QS. Al-Anfal [008]:
[10]  QS. Ali-Imran [003]: 103
[11] QS. Al-A’arf [007]: 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman