Oleh: Moch. Syamsul
Arifin. Zrt*
“
Bonum Est Faciendum et Procequendum, et Malum Vitandum ”
( Yang baik
harus dilakukan dan diusahakan, dan yang buruk harus ditinggalkan, dan yang
baik adalah apa yang disetujui oleh umat manusia )
Thomas
Aquinas: 1225-1274
Pendahuluan
Filsafat
merupakan seperangkat pengetahuan dengan beberapa cabang yang mempunyai
orientasi untuk memperoleh atau sekedar mencari dan mencintai kebenaran yang objeknya
adalah Tuhan, alam, dan manusia dan subjek pemikirnya adalah menusia, karena
disamping manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya
dengan diberikannya ilmu wal-amal[1]
atau dengan kata lain; akal dan implentasinya, yakni emosional cuotiont, hasrat atau nafsu, dan diberi kekuasaan oleh
Tuhan dalam memimpin atau mengelola Bumi[2]―yang dalam
hal ini Fredrich Nithce mengungkapkan “Der
Will Ubermenc”, bahwa manusia makhluk yang berkehendak atau dalam bahasa inggrisny Will to Power―, juga manusia
sebagai makhluk Homo Guriosus atau makhluk yang selalau mempunyai
keingin-tahuan[3],
maka dari rasa ingin tahu itulah manusia berfikir yang kemudian menjadi salah
satu penyebab kemunculan filsafat.
Sebagai
makhluk kepercayaan Tuhan, tentunya manusia harus berfikir jernih dalam
mengendalikan alam, yakni dalam bertindak, manusia diberi batasan-batasan yang
hal itu ditentukan oleh wahyu (perspektif agama: redaksional) dan pemikiran
manusia (perspektif rasional) yang bertujuan mencapai kehidupan yang sejahtera
yang kemudian memunculkan keindahan dan kesejahteraan dalam kehidupan sosial.
Dalam kajian
filsafat (tentang manusia) tentunya kita pernah mendengar cabang-cabang
filsafat yang di antaranya Etika dan Estetika, memang keduannya mempunyai
definisi subtansial[4]
yang sama, yakni nilai keindahan yang ada pada manusia dan alam[5], namun
perbedaannya, etika sebuah nilai keindahan yang melekat (internal diri) pada
manusia yang diwujudkan dengan tingkah laku atau perbuatan-perbuatan yang
kemudian disebut dengan moral, akhlaq, dan sebagainya, sedangkan estetika
merupakan nilai keindahan yang melekat pada alam atau suatu benda yang
dikeluarkan atau diciptakan oleh (eksternal dari) manusia yang merupakan
perwujudan dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang biasa disebut dengan seni
atau karya seni.
Manusia Ber-Etika
Secara epishtemologis, memang
Etika yang berasal dari bahasa latin eticut
bagian dari cabang filsafat yang
nilai kebenarannya bertolak belakang dengan agama, yang berkenaan dengan pembangunan
pondasi rasional bagi tindakan-tindakan moral[6], namun bukan berarti agama
tidak angkat bicara dan diam menanggapi satu kata yakni; etika, karena selain
etika merupakan sebuah kajian tentang prilaku manusia, juga kalu kita merefresh kembali fikiran kita terhadap
teori-teori agama salah satu contoh sabda Muhammad SAW “inniy bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” bahwasanya beliau
diutus oleh Tuhan untuk menyempurnakan akhlaq atau dengan kata lain menata
moral seorang hamba yang kemudian dibahas oleh pemikir-pemikir Islam yang
kemudian memunculkan beberapa literature dalam Islam yang khusus atau sebagian
isinya mengulas seputar prilaku manusia seperti; Taysirul Khalaq, Akhlaq Lil-Banin, Ihya’ Ulumud Din, Risalatul
Mu’awanah, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini-pun—bukan hanya
tokoh pemikir yang konsentrasi pemikiran atau disiplin ilmu-nya mengkhususkan
kajian etika atau kajian sosial—seorang filusuf sekaligus
tokoh pemikir pendidikan inggris;
Herbert Spencer
juga menyoroti prihal tetntang etika yakni dengan ucapannya “Tujuan
terbesar dalam pendidikan bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan[7]”, namun sebarapa banyak atau seberapa besar peranan tatanan moral
yang telah terkonsep dalam agama (doktrin wahyu) dan rasio (ilmiyah; konsep sosial para pemikir Yunani, Islam, dan Barat
yang tidak merujuk kepada wahyu),
hal itu mempunyai pengaruh yang minim terhadap perilaku manusia, karena yang bisa mengatur perilaku manusia adalah
manusianya itu sendiri[8],
yang dalam firman Tuhan disebutkan “inallaha
la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bi,anfusihim[9]”.
Dalam hal ini (Red: Etika) PMII yang merupakan organisasi kemahasiswaan yang
mempunyai nilai ke-Islaman dan ke-Indonesia-an telah memberikan konsep
tersendiri tentang etika yang merupakan interpretasi dari Nilai Dasar
Pergerakan (NDP), yakni pertama, Etika
kepada Tuhan. Manusia sebagai makhluq Tuhan yang mempunyai nilai spiritual
dalam dirinya yang kemudian muncul hubungan vertikal (hablum minal Ilah), maka sangat diperlukan selain meyakini
eksistensi Tuhan tehadap kehidupan, juga memperbaiki hubungan manusia dengan
Tuhan sebagai Pencipta dengan beribadah dan mengabdi kepada-Nya, sebagaimana
firman-Nya “Wama Khalaqtul Jinna Wal Insa
Illa Liya’buduniy”, kedua. Etika
kepada sesama manusia. Manusia sebagai makhluq sosial yang saling membutuhkan
dan tidak dapat hidup kecuali berdampingan dengan manusia yang lain yang
memunculkan istilah hubungan horizontal (hablum
minan nas), maka diperlukan untuk mensinergikan tatanan sosial, dengan
tidak berpecah belah dan menjaga persatuan antar sesama. Perbedaan pendapat
terhadap sebuah persoalan itu hal yang wajar, putus cinta adalah hal yang biasa
dalam hubungan percintaan, namun bagaimana dengan konflik-konflik itu manusia
bisa menjaga keharmonisan sosial dan menjaga tali silaturrahim antar sesama
manusia sebagaimana firman Tuhan “Wa’tashimu
Bihablillahi Jami’aw Wala Tafarraqu…[10]”, dan ketiga,
Etika terhadap alam semesta. Dalam membina keselarasan hubungan horizontal,
selain manusia selain makhluq sosial yang butuh kepada manusia lain, manusia juga
tidak bisa lepas begitu saja dengan lingkungan (red; alam), yang kemudian kita kenal (hablum minal alam),
karena selain alam merupakan tempat berpijak bagi manusia hidup, juga alam
menjadi penopang dan pendukung biologis bagi kehidupan, oleh karena itu manusia
harus melestarikan alam sebagaimana firman Tuhan “wala tufsidu fil-ardl ba’da ishlahiha; janganlah kalian berbuat kerusakan
di bumi setelah (diciptkan dengan) baik[11]”dengan menjaga kebersihan lingkungan, reboisasi, dan lain sebagainya. Mahasiswa
Islam Indonesia sebagai makhluq yang beragama yang bukan sembarang makhluq dan
bukan sembarang agama, selayaknya ketiganya itu (Etika kepada Tuhan, Manusia,
dan Alam) didasari dengan keTAUHID-an dengan tujuan mensetralisasi diri kepada
Tuhan agar fikiran dan tindakan dapat terarah dan tetap berada di jalan-Nya.
Semoga bermanfa’at
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Tharieq
Disampaikan pada acara Safari Ramadlan dan Buka Bersama, PC PMII
Kab. Malang,
Pada Tanggal 22
Agustus 2010 dengan
tema “Etika dan Estetika”
[1] Syaikh Ibrahim bin Isma’il
Az-Zarnujiy, Ta’limal Muta’allimi
Thariqat Ta’allumi, hlm. 2
[2] Lih. QS. Al-Baqarah[002]: 30
[3]
Alfatih Geusang. R, Bengkel Ilmu Filsafat, hlm. 6
[4] Dalam kajian Logika definisi
terbagi dua macam yakni; definisi aksidental dan definisi subtansial
[5] Bagian dari statement penulis
[6] Stephen Palmquist, The Tree of Philosophy; A cours of Introductory Lectures for Beginning Students of
Philosophy, (alih bahasa, Moch. Shodiq, Filsafat Mawas; Kuliyah Filsafat Umum untuk Pemula), hlm. 164
[7] Kevin Hogan, “The Psychology of Persuasiaon”,
(alih bahasa Anton Adiwiyoto, Psikologi Persuasi), hal, 25.
[8]
Merupakan interpretasi dari ucapan Cicero “Yang senantiasa berubah
adalah perubahan itu sendiri”
[9] QS. Al-Anfal [008]:
[10]
QS. Ali-Imran [003]: 103
[11]
QS. Al-A’arf [007]: 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar