dropdown

Senin, 07 November 2016

LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Oleh: Moch. Syamsul Arifin, Zrt

“Manusia tidak terpisahkan dengan pendidikan
 bagaikan jiwa yang tidak terpisahkan dengan raga”
(Suparlan Suhartono: 2004)

Latar Belakang
Manusia meruapakan makhluq yang oleh Tuhan diciptakan untuk mengelola Bumi atau alam[1] dan (sebenarnya) menjadi penakluk alam, namun dalam diri manusia terdapat dua unsure, dua kekuatan dahsyat bernama arus jahat (necrophilia) dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia)[2] yang keduanya—berada dalam kejiwaan manusia—saling bertentangan dalam menanggapi realitas kehidupan dan mendorong manusia untuk memunculkan sebuah perbuatan, oleh karenanya untuk menjaga jiwa dalam mengaplikasikan perbuatan, maka manusia perlu pendidikan dan harus berkecimpung dalam dunia pendidikan baik sebagai pendidik maupun yang dididik—dan kemudian disebut makhluk berpendidikan—di manapun dia berada, karena memang Tujuan terbesar dalam pendidikan bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan (Herbert Spencer)[3] yang tidak lepas dari keterpengaruhan lingkungan.
Pendidikan memang berpengaruh terhadap prilaku manusia, namun, pendidikan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang itu dibentuk oleh perilaku atau perbuatan manusia, oleh karenanya kita harus mengetahui sesuatu yang mempengaruhi pendidikan yakni lingkungan.
Definisi Dan Fungsi
            Pendidikan—yang dalam bahasa Inggris education dan berakar dari latin educare, yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth) dan terminology tersebut jika diperluas mencerminkan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi—merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri[4]. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. (UUD 1945 tentang sistem pendidikan nasional tahun 2003)[5], oleh karena itu, kegiatan pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja dan dilakukan oleh siapa saja, karena usaha untuk melakukan sebuah pendewasaan, pencerdasan dan pematangan—yang ketiganya sebenarnya bersifat metafisis[6]—merupakan hak asasi manusia.
            Lingkungan sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari dunia—unsur pendidikan baik manusia ataupun non manusia—pendidikan, merupakan factor yang mempunyai peranan besar dalam tercapainya tujuan pendidikan, sebenarnya lingkungan—dalam arti luasnya—mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam dengan kata lain lingkungan adalah sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang, baik berupa manusia ataupun benda[7] jika dikaitkan dengan pendidikan, lingkungan merupakan alam sekitar yang ditemui atau dialami oleh anak didik yang turut mendukung dalam tercapainya sebuah tujuan pendidikan (sebagaimana yang tercantum dalam makalah kelompok tiga hal. 5) dan itu menjadi final oriented bagi terselenggaranya proses pendidikan.
            Sebagaimana uraian di atas (tentang definisi lingkungan pendidikan), tidak diragukan lagi, bahwa fungsi lingkungan pendidikan bagi anak didik atau bahkan pendidik menjadi nilai plus—pendukung—bagi tercapainya tujuan dalam proses pendidikan, namun sebagaimana yang diungkapkan oleh John Lock (1632-1704)[8], bahwa realitas (red: lingkungan) adalah “tabularasa”, bagaikan kertas putih dan manusia yang mengisi kertas tersebut baik buruknya tergantung metodhe atau sesuatu yang diisikan.
Tripusat Pendidikan
            Lingkungan pendidikan—sebagaimana definisi dan fungsi di atas—memiliki beberapa bagian atau pos-pos penting—tiga komponen—yang jadi acuan dalam proses keberpengaruhan terhadap dunia pendidikan yang melekat dengan anak didik di kehidupan sehari-hari yang kita kenal dengan tri pusat pendidikan. Adalah sosok Ki Hajar Dewantara seorang pemikir pendidikan warga Indonesia yang memperkenalkan istilah tripusat pendidikan—yang arti etimologisnya tiga pusat pendidikan—yang dalam terminology praksisnya mencakup lembaga sekolah (baik formal ataupun non formal) yang merupakan institusi atau lembaga tempat berlangsungnya belajar-mengajar, yang teroerganisir, keluarga yang merupakan pendidikan pertama bagi anak didik yang dilakukan oleh orang tua, bahkan sebelum anak itu lahir (Heriditas) dan masyarakat yang menjadi central of value, karena merupakan intraksi anak didik dengan semua kalangan. Dan semuanya (sekolah, keluarga, dan masyarakat) menjadi pendukung dalam terselenggaranya dalam mencapai tujuan pendidikan atau lebih tepatnya ketiganya menjadi pusat dalam terselenggaranya sebuah pendidikan.
Pengaruh Timbal Balik Antara Tripusat Pendidikan Terhadap Perkembangan Anak Didik
Sebagaimana uraian dalam latarbelakang, bahwa manusia (red: anak didik) tidak terpisahkan dengan pendidikan dan dalam manusia terdapat dua kuatan yang disebut necrophilia dan biophilia—keduanya merupakan implementasi dari perkembangan anak didik—yang keduanya dapat dipengaruhi.
            Berbicara tentang pengaruh apalagi di dunia pendidikan tidak lepas dari nilai kuantitas—contoh biasanya tercantum dalam judul skripsi—yang bisa dibuktikan dengan angka, namun dalam makalah ini, penulis menyajikan perkembangan anak didik yang dipengaruhi oleh tripusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) tanpa melalui penelitian, karena keterbatasan penulis.
            Setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi perkembangan anak didik (kalu ditari ke teori perkembangan yaitu: empisme, nativisme, dan konvergensi), pertama, heriditas yang merupakan keterpengaruhan anak didik yang disebabkan keturunan (factor geneotik), kedua lingkungan (baca: tripusat pendidikan) yakni segala sesuatu yang ada pada sekitar anak didik hidup baik kongkrit maupun abstrak[9]. Namun, keterpengaruhannya itu disesuaikan dengan fase anak didik.
            Tripusat selain mempengaruhi perkembangan anak didik, juga mempunyai hubungan kausalitas yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi eksistensinya dalam kehidupan, dengan artian perkembangan anak didik, juga mempengaruhi eksistensi sekolah dalam kiprah pendidikannya di mata public, derajat (stratifikasi sosial) keluarga, dan nilai social masyarakat tempat anak didik tinggal.
            Namun, seberapa besar-pun pengaruh sekolah, keluarga, dan masyarakat (yang menjadi pusat berlangsungnya pendidikan) terhadap perkembangan anak didik, semua itu sekedar pengaruh yang bukan menjadi pemeran utama dalam mencapai kesuksesan atau perkembangan anak didik, dan yang paling utama adalah pribadi anak didik dalam ketekunannya mendidik diri sendiri. (eM. Sya.Z)
ABSTRAKSI
Di tengah keramaian alun-alun kota ada dua remaja yang duduk di taman alun-alun keduanya adalah Tukiman dan Legina yang keduanya mahasiswa Tarbiyah STAI Raden Rahmat mereka teman kuliyah seangkatan. Sambil memandangi keindahan kota mereka berbincang-bincang mulai seputar tentang matakuliyah, dosen, sampai pribadi mereka masing-masing, tak lama kemudian terlepas ucapan dari mulut Tukiman setelah menghembuskan asap rokok “Legina…!” Legina-pun dengan reflex menjawab “ya mas…!” kembali Tukiman melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong oleh sahutan Legina “sebenarnya semenjak aku mengenalmu aku menyukaimu, maukah kamu jadi pacarku? ”  Legina tercengang sejenak kemudian berkata”ow ya? Sejak berapa lama?” Tukiman kembali berucap “sejak aku kenal kamu ya kira-kira tiga bulan yang lalu-lah” giliran Legina berkata “Em…memang kenapa sih kamu jadi suka ama aku?” Tukiman tak kekurangan akal dengan nada merayu, dia-pun menjawab “akupun tak mengerti, namun setiap aku melihatmu tersenyum di siang hari, pada malam harinya aku tak bisa tidur memikirkan kamu seorang” Legina tersipu malu dengan senyumnya yang manis dank has, kemudian dia berkata “memang tak ada cewek lain yang lebih baik dariku?” dengan hati jengkel dan nada membujuk Tukiman berkata “Please Legina…! Aku butuh jawabanmu bukan pertanyaanmu” . . . .selanjutnya . . . . ?

Bagaimana komentar anda sebagai calon guru atau dosen . . . ?
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Kepanjen, 26 November 2010



[1] Lih. QS. Al-baqarah[002]: 30
[2] Munawwir Yamin, Memanusiakan Manusia, hal. 52
[3] Kevin Hogan, “The Psychology of Persuasiaon”, (alih bahasa Anton Adiwiyoto), hal,25.
[4] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan hal. 77-78
[5] Muhibbin Syah ,Psikologi Pendidikan, hlm. 1
[6] Sebuah terminology filsafat yunani yang dianggap sebagai filsafat pertama oleh Aristoteles (384-322 SM) berasal dari kata metafisika yang berarti di balik fisik dengan kata lain suatu hal yang tidak nampak namun ada. Baca:Asmnoro Hadi, Filsafat Umum.hal 55
[7] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, hal.63
[8] Adalah seorang pemikir barat modern dengan teorinya Empirisme
[9] Lih. Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, hal. 32

Laman