dropdown

Rabu, 10 Agustus 2016

Kearifan Lokal yang Me-Nasional dan Nasionalisme yang Berkearifan lokal



Oleh: Syamsul Arifin
Pendahuluan
Bumi Indonesia merupakan Negara (nation) yang mempunyai keragaman suku, etnis, bahasa, dan terdiri atas beribu pulau (yang munkin menjadi salah satu alasan dinamakan Indonesia yang berasal dari kata hindian nesos). Keragaman tersebut pada hakikatnya memberi identitas khusus serta menjadi modal dasar sebagai pengembangan budaya bangsa yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap suku bangsa juga memiliki hambatan budayaannya masing-masing, yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing- masing suku bangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa dalam artian, Negara dalam menghadapi keberagaman budaya, berupaya menjalin persatuan—Bhineka Tunggal Ika—dan bersikap toleran dalam perbedaan, urusan kemasyarakatan, dan kebudayaan[1], karena ketika tidak ada toleransi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut, maka akan menjadi konflik berkepanjangan abik antar suku, etnis, maupun antar agama.
Peran Kearifan Lokal dalam Tatanan Nasional
            Berbicara tentang kearifan lokal, maka kita akan diseret ke sebuah mainstream yang sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Pada sisi ini menjadi varian utama dalam membentuk apa yang dicitakan, yakni penciptaan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis—yang kemudian membentuk Negara demokrasi yang merupakan konsep (teknis) Negara “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang disampaikan oleh Abraham Lincoln dalam pidato kenegaraan—karena masyarakat sudah terbisaa dengan perbedaan dan bersikap toleran terhadap adanya perbedaan tersebut dan di bangunnya asas kedemokrasian dalam sebuah pemerintahan itu dilatarbelakangi—salah satunya—keragaman.
            Kearifan lokal (Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang kita rasakan tidak lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di Islam ada Tahlil, para penjajah sangat ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan, acara maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang bersifat jam’iyah, karena melalui acara-acara tersebut selain pembacaan kalimah thayibah, juga musyawarah atau sekedar diskusi yang itu akan memunculkan ide-ide kemerdekaan (Hadiwijaya, 2010) atau jangan-jangan suatu kelompok yang mengatakan acara-acara tersebut sebagai bid’ah yang dihukumi haram, mereka adalah ‘antek’ penjajah?
Upaya Nasional dalam Menjaga Kearifan Lokal
Sebagaimana dalam pendahuluan di atas, bahwa merupakan tugas Negara—dalam hal ini yang paling terpenting adalah peran pemerintah—dalam menjaga keharmonisan masyarakat yang berkebudayaan yang beragam sehingga keragaman-keberagaman tersebut tidak menjadi alasan untuk menimbulkan perpecahan dalam suatu Negara dan dapat terjaga sekaligus dilestarikan sebagaimana mestinya.
Setidaknya ada beberapa upaya Negara dalam menjaga kearifan local, yakni salah satunya dengan membangun museum-museum dan melalui pendidikan, dalam artian, bagaimana pendidikan menjadikan kekuatan kebudayaan itu melalui kerifan lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami dinamisasi yang produktif.
Produktifitas kebudayaan yang dimaksudkan adalah transformasi kearifan lokal dalam kanca Internasional, hal ini memungkinkan jika ditopang oleh peran pendidikan dan aktor intelektualnya. Sehingga menjadi tindakan yang keliru kemudian memisahkan antara proses pendidikan dan kebudayaan, karena pada praktisnya pendidikan mempunyai tiga pilar dalam menjalankan kependidikan yakni, sekolah, keluarga dan masyarakat[2] yang ketiganya merupakan wilayah strategis dalam mengembangkan kebudayaan.
Yang Mulai Terlupakan dan terabaikan
Para intelektual dan para cendekiawan kita mulai melupakan—mungkin akibat pengaruh modernisasi—ke’arifan lokal yang dinilainya kuno banyak para pemuda Indonesia menganggap hal-hal yang mistis seperti keris, wiridan-wiridan, kejawen dan lain sebagainya sudah dianggap hal yang kurang atau bahkan tidak rasional, padahal sebelum Albert Einstein—seorang ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan yang katanya tak ada tandingannya sepanjang jaman termasuk karena teori "relativitas"-nya—belum lahir di dunia pengetahuan, kearifan kejawen sudah memberikan teori, tentang asas pertama alam, dengan ungkapan Ana Manuk Bango Buthak, Ngendog ing Ngenthak-ngenthak yakni sebelum dunia dan seisinya mengisi alam semesta ini, jagad masih berupa susunan tata surya yang kosong. di sana terdapat sekumpulan awan putih yang pijar dan berputar. Awan putih itu jika dilihat tampak seperti burung bangau putih polos. Sekumpulan awan itu memercikkan gumpalan-gumpalan putih kecil, seperti burung bangau yang bertelur dan telurnya tercerai berai, telur-telur itulah yang menjadi bumi, mars, yupiter, dan planet-planet yang lain, sedangkan inti dari gumpalan awan itu manjadi matahari (Hadiwijaya, 2010), itu salah satu contoh saja dari kearifan lokal yang ada di Indonesia yang serat dengan pengetahuan. Hal ini bisa kita lihat berapa persenkah para pelajar muda (jawa) yang bisa menulis dengan tulisan jawa atau bahkan hampir tidak ada?, padahal di tahun 2005 di Belanda sudah membuka fakultas ilmu jawa, mungkin ini menjadi bahan koreksi diri (muhasabah) bagi para pemuda Indonesia. Lebih ironisnya lagi Presiden Indonesia Sosilo Bambang Yudhoyono akan membubarkan Daerah Istemewa Yogyakarta serta menghapus system monarkhi yang menjadi salah satu pusat kearifan lokal di Indonesia.
Modernisasi Sebuah Ancaman dan Peluang
            Dalam sebuah pepatah arab (qawa’idul fiqhiyah) mengatakan “al-muhafadzatu ala qadimish shalih wal akhdu min jadidil ashlah”, bahwasanya tradisi—masuk di dalamnya kebudayaan—lama yang baik hendaknya dilestarikan serta mangambil tradisi modern yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang lazimnya difahami sebagai akal budi sedangkan akal adalah pemberian Tuhan yang tertinggi bagi manusia yang respon terhadap perubahan, maka tidaklah bersifat statis yang abai terhadap perubahan, tapi bersifat dinamis yang bisa berkembang sesuai perkembangan zaman.
            Modernisasi—secara bahasa berarti baru ata up todate yang kemudian muncul istilah westernisasiyang merupakan proses dari pembaharuan kebudayaan atau minimalmemberi inovasi terhadap kebudayan memang mempunyai dampak sekularisasi lebih-lebih di barat, bagi sebagian masyarakat, ilmu pengetahuan (sain) dan teknologi sudah meningkat posisinya seolah menjadi “agama” baru, sehingga banyak di antara mereka memper-Tuhan-kannya. Lebih jauh lagi di barat yang secular tidak sedikit masyarakat yang bergaya hidup terpengaruh dan dilandasi oleh hasil pemikiran filosuf abad 19, Frederick Nietzsche, bahwa trend “agam sain” ini memuncak pada filsafat “God is dead” (Tuhan telah mati)[3]. Na’udzubillah.
            Adanya dampak tersebut yang disebabkan arus modernisasi dimungkinan tidak adanya respon positif dalam menyikapinya, buktinya, ketika hal itu disikapi positif maka akan menjadi suatu inovasi budaya yang akan menjadikan kebudayaan itu tidak punah contoh, bagaimana nasib kesenian wayang jika tidak diperbarui (dimodernisasi) menjadi wayang kulit oleh Ust. Raden Syahid atau Sunan Kalijaga yang sebelumnya berupa wayang orang (boneka yang mirip dengan manusia)? padahal para wali saat itu memberikan fatwa haram karena kemiripannya dengan rupa manusia dan bagimana pula nasib tradisi kenduren, mitungdinane, dan  patangpuluh dina jika para wali sanga tidak memasukan (inovasi) unsure keIslaman di dalamnya, dan banyak contoh-contoh lain yang merupakan manfa’at dari modernisasi.
Sebuah Catatan
            Indonesia yang kaya akan kebudayaan tidak akan bisa mandiri jikalau masyarakat—lebih-lebih pemuda—kurang menghargai kebudayaan dan kearifan lokal yang ada, bahkan mereka menganggap kuno sesuatu yang berharga itu, selain itu peran pemerintah kurang memperhatikan akan kelestarian kebudayaan, bahkan cendrung untuk (seakan-seakan) “menghilangkannya”. Padahal keragaman budaya, kearifan lokal, ragam seni, suku, dan keragaman yang lain menjadi ciri khas Negara yang ketika ciri khas itu dihilangkan, maka akan mudah bagi bangsa luar untuk mengambil kekayaan-kekayaan Negara dan secara diam-diam penjajahan model baru (neokolonialisme) bertandang di Indonesia yang memang dipersiapkan secara matang oleh kekuatan di luar Indonesia sejak lahir tahun 1950-an, dan di Bantu oleh orang Indonesia sendiri, dengan apa yang yang disebut sebagai kelompok ekonom Mafia Berkeley atau Mafia Orde Baru (Dr. Rizal Ramli). Ironis memang keadaan Negara kita, mungkin banyaknya TKW/TKI yang mengabdi di luar negri demi mendapat sesuap emas, penyebab salah satunya adanya neokolonialisme.





Daftar Pustaka
Hadiwijaya, 2010, Tokoh-Tokoh Kejawen; Ajaran dan Pengaruhnya, EULE BOOK, Yokyakarta
Suhartono, Suparlan, 2009 Filsafat Pendidikan, Jokjakarta; Ar-Ruz Media
Jauharudin, Adien, 2008. Aswaja Manhajul harakah, Jakarta; PMPI
Aziz, Qadri, 2004, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR




[1]       Yang menjadi bagian dari sikap kemasyarakatan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama’, lihat Adien Jauharudin “Aswaja Manhajul harakah (Methodologi Bergerak)”, hal. 98
[2]       Dalam kajian kependidikan dikenal erti sempit pendidikan, arti luas pendidikan dan arti alternative pendidikan (lihat; Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, hlm .87-89)
[3]       Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, hal. 9

Menyeragamkan Bangsa Indonesia; Sama dengan Merobohkan Negara



(Sebuah Ikhtiar Berwawasan dalam Menjaga Kemajemukan Bangsa)
(Oleh: Moch. Syamsul Arifin*)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(Qs: Al-Hujurat: 13)

Pendahuluan
Bumi nusantara merupakan Negara (nation) yang mempunyai keragaman suku, etnis, bahasa, dan terdiri atas beribu pulau (yang mungkin menjadi salah satu alasan dinamakan Indonesia yang berasal dari kata hindian-nesos) bahkan sebelum Indonesia terbentuk sebagai Negara yakni pada zaman kerajaan, mulai kerajaan Sriwijaya, Mataram, Majapahit sampai kerajaan Demak sekalipun, nilai multi-kuturlisme tersebut sudah singgah di bumi nusantara. Keberagaman tersebut pada hakikatnya memberi identitas khusus serta menjadi modal dasar sebagai pengembangan budaya bangsa yang secara keseluruhan perlu dan dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap agama dan suku bangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, oleh karena itu Indonesia merupakan Negara yang majemuk yang penuh dengan perbedaan yang tidak terbantahkan.
Lain lubuk lain airnya, lain pula ikannya, lain orang lain kepala, lain pula hatinya, mungkin pepatah ini bisa kita jadikan rujukan bagi kita ketika melihat sebuah bangsa yang plural yang penuh dengan perbedaan, oleh karena itu pancasila dan bhinneka tunggal ika menjadi dasar Negara demi menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Kemajemukan Merupakan Kekuatan Negara
            Kemajemukan merupakan ‘penyatuan’ dari perbedaan-perbedaan, baik etnis, bahasa, suku, maupun agama yang menjadi ciri khas Negara Indonesia, hal ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Negara dalam memerdekaan bangsa serta menjaga keutuhan bangsa, ketika zaman penjajah misalnya, dalam mengusir penjajah berbagai suku, etnis, dan agama berkumpul dalam satu ide yakni mengusir penjajah yang kemudian berkat ketekunan para pejuang (yang di dalamnya terdiri dari berbagai perbedaan yang ada di Indonesia) Indonesia menjadi bangsa yang merdeka sampai saat ini.
            Dalam ajaran dan doktrin-doktrin Islam, banyak disinggung masalah perbedaan, di antaranya dalam sabda Nabi Muhammad SAW “ikhtilafu ummati rahmatun (HR. Ibnu Majah, Imam Ahmad Ibn Hambal dan Muttafaqun Alaih)” yang dalam arti subtansinya menjelaskan kepada ummatnya bahwa hakikat dari perbedaan menjadi kekuatan tersendiri bagi ummat, salah satu contoh ketika anggota walisongo bermusayawarah untuk membahas tentang tradisi-tradisi masyarakat pribumi yang merupakan warisan para leluhur mereka yang masih berpegangteguh pada faham animisme dan dinamisme, dan pada awalnya banyak kalangan dari anggota musyawarah yang mengharamkan dan menganggap musyrik orang yang melakukan kegiatan ini, sehingga kegiatan semacam itu harus dihilangkan dan sebagian lagi masih mempertahankan, karena masyarakat waktu itu masih belum siap untuk meninggalkan warisan tradisi nenek moyang tersebut, namun atas adanya perbedaan itu diambillah jalan tengah dengan mempertahankan kegiatan tersebut dengan pertimbangan supaya masyarakat tidak lari dari Islam yang kala itu baru mereka anut, hanya saja warna kegiatan itu atau tekhnis kegiatannya diganti dengan ala Islam, maka lahirlah tahlill, istighotsah dan bentuk kearifan-kearifan lainnya, hal ini menunjukkan betapa hebatnya sebuah perbedaan, mulai dari perbedaan pendapat sampai perbedaan etnis ketika ditanggapi positif. Namun, lain dari hal itu kita akan dihadapkan masalah-masalah klasik (tidak asing bagi kita) ketika sebuah perbedaan itu ditanggapi sebagai hal yang negatif tidak hanya harta yang menjadi taruhannya, nyawapun akan melayang seperti yang dialami suku (maaf) Madura dan Dayak yang hanya dilatarbelakangi pertikaian beberapa gelintir orang sampai membawa atas nama etnis, maka menjadi tugas kita bersama (Bangsa dan Negara) dalam menjaga perbedaan tidak menjadi sebuah pertikaian, namun menjadi sebuah kekuatan bagi bangsa dan Negara seperti ketika bangsa ini merebut kemerdekaan dari penjajah.
Kemajemukan Sebagai Identitas Negara
Sebagaimana pemaparan di atas, bahwa Indonesia dibangun dari beberapa agama, budaya dan suku bangsa dan bahasa (kurang lebih 360 suku bangsa dan bahasa yang ada di Indonesia), bahkan kemerdekaan bangsa tidak lepas dari (salah satunya) kemajemukan bangsa yang mempunyai satu ide dalam berjuang, maka tidak diragukan lagi, bahwa kemajemukan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Sebagai Negara yang mempunyai nilai pluralitas yang tinggi dengan adanya berbagai suku bangsa, agama, dan lain sebagainya dibanding Negara- Negara lainnya, Indonesia (bangsa) tidak boleh berbangga diri karena hal itu menjadi kekuatan tersendiri bagi Negara sebagaimana yang telah dibuktikan oleh para pejuang kemerdekaan, padahal di lain pihak, dengan perbedaan-perbedaan tersebut bangsa ini mempunyai sifat fanatis terhadap suku dan agama masing-masing yang itu memberi dorongan akan timbulnya konflik, juga dalam hal budaya, bangsa ini merupaka negara yang kaya akan budaya warisan para leluhur yang hal itu akan berdampak bagi generasinya mempunyai dua sikap dalam menghadapi budaya warisan leluhurnya, yakni, pertama, sikap fanatis terhadap budaya yang mengakibatkan rawannya konflik antar etnis, agama dan lain sebagainya dan terlena akan budaya yang telah ada yang akhirnya menjadikan bangsa ini malas untuk memunculkan budaya-budaya yang baru, padahal bangsa ini sangat berpotensi untuk menciptakan budaya-budaya baru sebagaimana yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, kedua, sikap acuh terhadap budaya dalam negeri yang mengakibatkan hilanganya jiwa nasionalisme hanya karena merasa gengsi mengakui budaya negeri sendiri, dan mungkin ini salah satu alasan mengapa sebagian budaya-budaya kita diakui oleh negara lain? Sekedar contoh dalam hal ini adalah maraknya gaya hidup barat (west) bukan cuma pakaian, musik—lebih banyak mana pemuda Indonesia yang menyukai musik tradisional seperti dangdut dengan yang menyukai musik yang dibawakan oleh Justin Bieber?—dalam berbahasa-pun seseorang akan dianggap kaum intelektual apabila memakai bahasa barat (inggris)—sekedar renungan; berapa banyak generasi bangsa (pemuda Jawa) yang mengenal tulisan jawa?—maka sudah menjadi tanggungjawab bangsa (masyarakat) dan Negara (pemerintah) untuk memberikan penyadaran bagi masyarakat, khususnya pemuda karena pemuda adalah pemimpin masa depan melalui pendidikan dan kegiatan-kegiatan keagamaan (pada poin inilah bangsa ini sangat membutuhkan lembaga keagamaan seperti pesantren yang mampu mengemban amanat keagamaan dan kenegaraan demi terciptanya bangsa yang bertaqwa dan mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi) juga secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa, dalam artian, dalam menghadapi keberagaman budaya, Negara berupaya menjalin persatuan—Bhinneka Tunggal Ika—dan bersikap toleran dalam perbedaan, urusan kemasyarakatan, dan kebudayaan[1], karena ketika tidak ada toleransi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut, maka akan menjadi konflik berkepanjangan baik antar suku, etnis, maupun antar agama.
Sebuah Kemustahilan Menghilangkan Kemajemukan dalam Negara
Setengah abad lebih bangsa ini hidup dalam sebuah Negara yang berpancasila dan binheka tunggal ika yang menjadi dasar Negara kita, tentunya kita sudah merasakan betapa pentingnya menjaga keharmonisan dengan golongan (suku, agama, dan lain-lain) selain golongan kita, inilah Indonesia, hidup berdampingan meskipun berbeda keyakinan dan suku menjadi nilai positif tersendiri bagi sang empunya Negara.
Tentunya kita pernah mendengar di berita-berita lewat media, baik cetak maupun elektronik tentang kejadian-kejadian anarkis yang dilakukan oleh sekelompok yang mengatas-namakan diri pembela Islam, begitu juga berita yang mengejutkan dari pulau dewata yang merupakan aset bangsa yang dibom beberapa tahun lalu, ada lagi pemboman hotel, gereja dan banyak lagi kasus pem-bom-an yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan dalih membunuh orang kafir demi membela agama, bahkan tidak jarang bom bunuh diri dilakukan dengan alasan mendapat iming-iming mati syahid yang menjanjikan syurga, hal tiu sekedar contoh sebagian kelompok atau golongan yang ingin menghilangkan kemajemukan yang sudah menjadi identitas Negara dengan melenyapkan orang atau golongan yang tidak seagama, dalam artian perbedaan agama sekaligus kebebasan dalam memeluk suatu agama yang sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia akan dihilangkan yakni dengan jalan men-seragamkan agama yang ada di Indonesia dengan satu nama, yakni Islam, itu hal yang mustahil dan tidak mempunyai dasar apapun.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk memberi kebebasan bagi bangsa untuk memeluk agama yang mereka yakini, dalam piagam madinah tertulis “inna al-yahuda wa an-nashara wa al-ladzina amanuw hum ikhwatun fala ‘udwana illa ‘ala adz-dzalimin” (Ibnu Hisyam dalam kitab Sirah Nabawiyah) yang berarti bahwa nilai pluralitas dan kebebasan beragama dalam suatu Negara sangat dijunjung tinggi oleh Nabinda Muhammad SAW, dan beliau menegaskan, bahwa musuh kita bukan yahudi, nashrani atau sesama Islam karena agamanya, tapi karena kedzalimannyalah maka seseorang itu menjadi musuh bersama, tidak kalah menariknya firman Tuhan dalam Al-Qur’an Surat Al-baqarah ayat 256 yang berbunyi ”La ikraha fi ad-din qad tabyyana ar-rusydu mina al-ghay” yang dalam ayat ini Tuhan menjelaskan tidak ada paksaan bagi manusia untuk memeluk suatu agama, dalam artian Tuhan tidak memaksa manusia dalam memeluk suatu agama untuk diyakini, kemudian kenapa manusia memaksa manusia lain untuk memeluk suatu agama, padahal kebasan beragama dilindungi oleh Tuhan? Maka pemaksaan-pemaksaan semacam itu hanya akan menghancurkan keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia..
Penutup
Dalam hidup berbangsa dan bernegara setidaknya dalam diri kita terdapat tiga mandate atau tugas yang harus kita laksanakan, yakni, pertama, tugas keagamaan. Sebagai umat beragama tentunya kita sudah diberi doktrin-doktrin, baik dari firman Tuhan maupun sabda Nabi akhir zaman tentang kewajiban kita dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, karena itu yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan kita sebagai makhluq yang diciptakan oleh Tuhan, kedua, tugas keintelektualan. Dalam hal ini manusia yang dianugerahi akal oleh Tuhan, yang berfungsi untuk berfikir, sedangkan dalam berfikir ada dua kekuatan dahsyat bernama arus jahat (necrophilia) dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia)[2] yang selalu memberikan bisikan dalam fikiran manusia, maka untuk membedakan antara fikiran baik dan buruk diwajibkan bagi kita untuk mengasah keintektualan kita dengan menuntut ilmu dan belajar, ketiga, tugas kenegaraan. Dalam suatu Negara, bukan hanya pemerintah atau aparatur Negara yang wajib menjaga keamanan, kelestarian alam, kebersihan, dan lain sebagainya, tapi peran masyarakat juga sangat dibutuhkan, bahkan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masyarakat berada garda terdepan, yakni dengan mencintai serta menjaga kemudian melestarikan budaya-budaya Indonesia, dan mampu hidup berdampingan dengan harmonis, meskipun berbeda agama, etnis atau bahasa.

Semoga Bermanfa’at . . . !
Wallahul Muwaffieq Ila Aqwamith Thariq

♠  
[1]       Yang menjadi bagian dari sikap kemasyarakatan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama’, lihat Adien Jauharudin “Aswaja Manhajul harakah (Methodologi Bergerak)”, hal. 98
[2] Munawwir Yamin, Memanusiakan Manusia, hal. 52

LINGKUNGAN PENDIDIKAN



Oleh: Moch. Syamsul Arifin, Zrt

“Manusia tidak terpisahkan dengan pendidikan
 bagaikan jiwa yang tidak terpisahkan dengan raga”
(Suparlan Suhartono: 2004)

Latar Belakang
Manusia meruapakan makhluq yang oleh Tuhan diciptakan untuk mengelola Bumi atau alam[1] dan (sebenarnya) menjadi penakluk alam, namun dalam diri manusia terdapat dua unsure, dua kekuatan dahsyat bernama arus jahat (necrophilia) dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia)[2] yang keduanya—berada dalam kejiwaan manusia—saling bertentangan dalam menanggapi realitas kehidupan dan mendorong manusia untuk memunculkan sebuah perbuatan, oleh karenanya untuk menjaga jiwa dalam mengaplikasikan perbuatan, maka manusia perlu pendidikan dan harus berkecimpung dalam dunia pendidikan baik sebagai pendidik maupun yang dididik—dan kemudian disebut makhluk berpendidikan—di manapun dia berada, karena memang Tujuan terbesar dalam pendidikan bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan (Herbert Spencer)[3] yang tidak lepas dari keterpengaruhan lingkungan.
Pendidikan memang berpengaruh terhadap prilaku manusia, namun, pendidikan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang itu dibentuk oleh perilaku atau perbuatan manusia, oleh karenanya kita harus mengetahui sesuatu yang mempengaruhi pendidikan yakni lingkungan.
Definisi Dan Fungsi
            Pendidikan—yang dalam bahasa Inggris education dan berakar dari latin educare, yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth) dan terminology tersebut jika diperluas mencerminkan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi—merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri[4]. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. (UUD 1945 tentang sistem pendidikan nasional tahun 2003)[5], oleh karena itu, kegiatan pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja dan dilakukan oleh siapa saja, karena usaha untuk melakukan sebuah pendewasaan, pencerdasan dan pematangan—yang ketiganya sebenarnya bersifat metafisis[6]—merupakan hak asasi manusia.
            Lingkungan sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari dunia—unsur pendidikan baik manusia ataupun non manusia—pendidikan, merupakan factor yang mempunyai peranan besar dalam tercapainya tujuan pendidikan, sebenarnya lingkungan—dalam arti luasnya—mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam dengan kata lain lingkungan adalah sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang, baik berupa manusia ataupun benda[7] jika dikaitkan dengan pendidikan, lingkungan merupakan alam sekitar yang ditemui atau dialami oleh anak didik yang turut mendukung dalam tercapainya sebuah tujuan pendidikan (sebagaimana yang tercantum dalam makalah kelompok tiga hal. 5) dan itu menjadi final oriented bagi terselenggaranya proses pendidikan.
            Sebagaimana uraian di atas (tentang definisi lingkungan pendidikan), tidak diragukan lagi, bahwa fungsi lingkungan pendidikan bagi anak didik atau bahkan pendidik menjadi nilai plus—pendukung—bagi tercapainya tujuan dalam proses pendidikan, namun sebagaimana yang diungkapkan oleh John Lock (1632-1704)[8], bahwa realitas (red: lingkungan) adalah “tabularasa”, bagaikan kertas putih dan manusia yang mengisi kertas tersebut baik buruknya tergantung metodhe atau sesuatu yang diisikan.
Tripusat Pendidikan
            Lingkungan pendidikan—sebagaimana definisi dan fungsi di atas—memiliki beberapa bagian atau pos-pos penting—tiga komponen—yang jadi acuan dalam proses keberpengaruhan terhadap dunia pendidikan yang melekat dengan anak didik di kehidupan sehari-hari yang kita kenal dengan tri pusat pendidikan. Adalah sosok Ki Hajar Dewantara seorang pemikir pendidikan warga Indonesia yang memperkenalkan istilah tripusat pendidikan—yang arti etimologisnya tiga pusat pendidikan—yang dalam terminology praksisnya mencakup lembaga sekolah (baik formal ataupun non formal) yang merupakan institusi atau lembaga tempat berlangsungnya belajar-mengajar, yang teroerganisir, keluarga yang merupakan pendidikan pertama bagi anak didik yang dilakukan oleh orang tua, bahkan sebelum anak itu lahir (Heriditas) dan masyarakat yang menjadi central of value, karena merupakan intraksi anak didik dengan semua kalangan. Dan semuanya (sekolah, keluarga, dan masyarakat) menjadi pendukung dalam terselenggaranya dalam mencapai tujuan pendidikan atau lebih tepatnya ketiganya menjadi pusat dalam terselenggaranya sebuah pendidikan.
Pengaruh Timbal Balik Antara Tripusat Pendidikan Terhadap Perkembangan Anak Didik
Sebagaimana uraian dalam latarbelakang, bahwa manusia (red: anak didik) tidak terpisahkan dengan pendidikan dan dalam manusia terdapat dua kuatan yang disebut necrophilia dan biophilia—keduanya merupakan implementasi dari perkembangan anak didik—yang keduanya dapat dipengaruhi.
            Berbicara tentang pengaruh apalagi di dunia pendidikan tidak lepas dari nilai kuantitas—contoh biasanya tercantum dalam judul skripsi—yang bisa dibuktikan dengan angka, namun dalam makalah ini, penulis menyajikan perkembangan anak didik yang dipengaruhi oleh tripusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) tanpa melalui penelitian, karena keterbatasan penulis.
            Setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi perkembangan anak didik (kalu ditari ke teori perkembangan yaitu: empisme, nativisme, dan konvergensi), pertama, heriditas yang merupakan keterpengaruhan anak didik yang disebabkan keturunan (factor geneotik), kedua lingkungan (baca: tripusat pendidikan) yakni segala sesuatu yang ada pada sekitar anak didik hidup baik kongkrit maupun abstrak[9]. Namun, keterpengaruhannya itu disesuaikan dengan fase anak didik.
            Tripusat selain mempengaruhi perkembangan anak didik, juga mempunyai hubungan kausalitas yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi eksistensinya dalam kehidupan, dengan artian perkembangan anak didik, juga mempengaruhi eksistensi sekolah dalam kiprah pendidikannya di mata public, derajat (stratifikasi sosial) keluarga, dan nilai social masyarakat tempat anak didik tinggal.
            Namun, seberapa besar-pun pengaruh sekolah, keluarga, dan masyarakat (yang menjadi pusat berlangsungnya pendidikan) terhadap perkembangan anak didik, semua itu sekedar pengaruh yang bukan menjadi pemeran utama dalam mencapai kesuksesan atau perkembangan anak didik, dan yang paling utama adalah pribadi anak didik dalam ketekunannya mendidik diri sendiri. (eM. Sya.Z)
ABSTRAKSI
Di tengah keramaian alun-alun kota ada dua remaja yang duduk di taman alun-alun keduanya adalah Tukiman dan Legina yang keduanya mahasiswa Tarbiyah STAI Raden Rahmat mereka teman kuliyah seangkatan. Sambil memandangi keindahan kota mereka berbincang-bincang mulai seputar tentang matakuliyah, dosen, sampai pribadi mereka masing-masing, tak lama kemudian terlepas ucapan dari mulut Tukiman setelah menghembuskan asap rokok “Legina…!” Legina-pun dengan reflex menjawab “ya mas…!” kembali Tukiman melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong oleh sahutan Legina “sebenarnya semenjak aku mengenalmu aku menyukaimu, maukah kamu jadi pacarku? ”  Legina tercengang sejenak kemudian berkata”ow ya? Sejak berapa lama?” Tukiman kembali berucap “sejak aku kenal kamu ya kira-kira tiga bulan yang lalu-lah” giliran Legina berkata “Em…memang kenapa sih kamu jadi suka ama aku?” Tukiman tak kekurangan akal dengan nada merayu, dia-pun menjawab “akupun tak mengerti, namun setiap aku melihatmu tersenyum di siang hari, pada malam harinya aku tak bisa tidur memikirkan kamu seorang” Legina tersipu malu dengan senyumnya yang manis dank has, kemudian dia berkata “memang tak ada cewek lain yang lebih baik dariku?” dengan hati jengkel dan nada membujuk Tukiman berkata “Please Legina…! Aku butuh jawabanmu bukan pertanyaanmu” . . . .selanjutnya . . . . ?

Bagaimana komentar anda sebagai calon guru atau dosen . . . ?
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Kepanjen, 26 November 2010




[1] Lih. QS. Al-baqarah[002]: 30
[2] Munawwir Yamin, Memanusiakan Manusia, hal. 52
[3] Kevin Hogan, “The Psychology of Persuasiaon”, (alih bahasa Anton Adiwiyoto), hal,25.
[4] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan hal. 77-78
[5] Muhibbin Syah ,Psikologi Pendidikan, hlm. 1
[6] Sebuah terminology filsafat yunani yang dianggap sebagai filsafat pertama oleh Aristoteles (384-322 SM) berasal dari kata metafisika yang berarti di balik fisik dengan kata lain suatu hal yang tidak nampak namun ada. Baca:Asmnoro Hadi, Filsafat Umum.hal 55
[7] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, hal.63
[8] Adalah seorang pemikir barat modern dengan teorinya Empirisme
[9] Lih. Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, hal. 32

Laman