Oleh: Syamsul Arifin
Pendahuluan
Bumi Indonesia
merupakan Negara (nation) yang
mempunyai keragaman suku, etnis, bahasa, dan terdiri atas beribu pulau (yang
munkin menjadi salah satu alasan dinamakan Indonesia yang berasal dari kata hindian nesos). Keragaman tersebut pada
hakikatnya memberi identitas khusus serta menjadi modal dasar sebagai
pengembangan budaya bangsa yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan
nasional. Di pihak lain, setiap suku bangsa juga memiliki hambatan budayaannya
masing-masing, yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, maka
menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan
budaya masing- masing suku bangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan
peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa
dalam artian, Negara dalam menghadapi keberagaman budaya, berupaya menjalin
persatuan—Bhineka Tunggal Ika—dan bersikap toleran dalam perbedaan, urusan
kemasyarakatan, dan kebudayaan[1], karena
ketika tidak ada toleransi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut, maka
akan menjadi konflik berkepanjangan abik antar suku, etnis, maupun antar agama.
Peran Kearifan Lokal dalam
Tatanan Nasional
Berbicara tentang
kearifan lokal, maka kita akan diseret ke sebuah mainstream yang sangat erat
hubungannya dengan kebudayaan. Pada sisi ini menjadi varian utama dalam membentuk
apa yang dicitakan, yakni penciptaan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis—yang
kemudian membentuk Negara demokrasi yang merupakan konsep (teknis) Negara
“pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang disampaikan oleh
Abraham Lincoln dalam pidato kenegaraan—karena masyarakat sudah terbisaa dengan
perbedaan dan bersikap toleran terhadap adanya perbedaan tersebut dan di
bangunnya asas kedemokrasian dalam sebuah pemerintahan itu dilatarbelakangi—salah
satunya—keragaman.
Kearifan lokal (Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk
Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang kita
rasakan tidak lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di Islam
ada Tahlil, para penjajah sangat
ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan, acara maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang
bersifat jam’iyah, karena melalui
acara-acara tersebut selain pembacaan kalimah
thayibah, juga musyawarah atau sekedar diskusi yang itu akan memunculkan
ide-ide kemerdekaan (Hadiwijaya, 2010) atau jangan-jangan suatu kelompok yang mengatakan acara-acara
tersebut sebagai bid’ah yang dihukumi haram, mereka adalah ‘antek’ penjajah?
Upaya Nasional dalam
Menjaga Kearifan Lokal
Sebagaimana dalam pendahuluan di atas, bahwa merupakan
tugas Negara—dalam hal ini yang paling terpenting adalah peran pemerintah—dalam
menjaga keharmonisan masyarakat yang berkebudayaan yang beragam sehingga
keragaman-keberagaman tersebut tidak menjadi alasan untuk menimbulkan
perpecahan dalam suatu Negara dan dapat terjaga sekaligus dilestarikan
sebagaimana mestinya.
Setidaknya ada beberapa upaya Negara dalam menjaga
kearifan local, yakni salah satunya dengan membangun museum-museum dan melalui
pendidikan, dalam artian, bagaimana pendidikan menjadikan kekuatan kebudayaan
itu melalui kerifan lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami
dinamisasi yang produktif.
Produktifitas kebudayaan yang dimaksudkan adalah
transformasi kearifan lokal dalam kanca Internasional, hal ini memungkinkan
jika ditopang oleh peran pendidikan dan aktor intelektualnya. Sehingga menjadi
tindakan yang keliru kemudian memisahkan antara proses pendidikan dan
kebudayaan, karena pada praktisnya pendidikan mempunyai tiga pilar dalam
menjalankan kependidikan yakni, sekolah, keluarga dan masyarakat[2] yang
ketiganya merupakan wilayah strategis dalam mengembangkan kebudayaan.
Yang Mulai Terlupakan dan
terabaikan
Para intelektual dan para cendekiawan kita mulai
melupakan—mungkin akibat pengaruh modernisasi—ke’arifan lokal yang dinilainya
kuno banyak para pemuda Indonesia
menganggap hal-hal yang mistis seperti keris, wiridan-wiridan, kejawen dan lain
sebagainya sudah dianggap hal yang kurang atau bahkan tidak rasional, padahal
sebelum Albert Einstein—seorang ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan yang
katanya tak ada tandingannya sepanjang jaman termasuk karena teori
"relativitas"-nya—belum lahir di dunia pengetahuan, kearifan kejawen
sudah memberikan teori, tentang asas pertama alam, dengan ungkapan Ana Manuk
Bango Buthak, Ngendog ing Ngenthak-ngenthak yakni sebelum dunia dan seisinya mengisi alam semesta
ini, jagad masih berupa susunan tata surya yang kosong. di sana terdapat sekumpulan awan putih yang pijar
dan berputar. Awan putih itu jika dilihat tampak seperti burung bangau putih polos.
Sekumpulan awan itu memercikkan gumpalan-gumpalan putih kecil, seperti burung
bangau yang bertelur dan telurnya tercerai berai, telur-telur itulah yang
menjadi bumi, mars, yupiter, dan planet-planet yang lain, sedangkan inti dari
gumpalan awan itu manjadi matahari (Hadiwijaya, 2010), itu salah satu contoh
saja dari kearifan lokal yang ada di Indonesia yang serat dengan pengetahuan.
Hal ini bisa kita lihat berapa persenkah para pelajar muda (jawa) yang bisa
menulis dengan tulisan jawa atau bahkan hampir tidak ada?, padahal di tahun
2005 di Belanda sudah membuka fakultas ilmu jawa, mungkin ini menjadi bahan
koreksi diri (muhasabah) bagi para
pemuda Indonesia. Lebih ironisnya lagi Presiden
Indonesia Sosilo Bambang Yudhoyono akan membubarkan Daerah Istemewa Yogyakarta
serta menghapus system monarkhi yang menjadi salah satu pusat kearifan lokal di
Indonesia .
Modernisasi Sebuah Ancaman
dan Peluang
Dalam sebuah
pepatah arab (qawa’idul fiqhiyah)
mengatakan “al-muhafadzatu ala qadimish
shalih wal akhdu min jadidil ashlah”, bahwasanya tradisi—masuk di dalamnya
kebudayaan—lama yang baik hendaknya dilestarikan serta mangambil tradisi modern
yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang lazimnya difahami
sebagai akal budi sedangkan akal adalah pemberian Tuhan yang tertinggi bagi
manusia yang respon terhadap perubahan, maka tidaklah bersifat statis yang abai
terhadap perubahan, tapi bersifat dinamis yang bisa berkembang sesuai
perkembangan zaman.
Modernisasi—secara
bahasa berarti baru ata up todate yang
kemudian muncul istilah westernisasi—yang
merupakan proses dari pembaharuan kebudayaan atau minimalmemberi inovasi
terhadap kebudayan memang mempunyai dampak sekularisasi lebih-lebih di barat,
bagi sebagian masyarakat, ilmu pengetahuan (sain) dan teknologi sudah meningkat
posisinya seolah menjadi “agama” baru, sehingga banyak di antara mereka
memper-Tuhan-kannya. Lebih jauh lagi di barat yang secular tidak sedikit
masyarakat yang bergaya hidup terpengaruh dan dilandasi oleh hasil pemikiran
filosuf abad 19, Frederick Nietzsche, bahwa trend “agam sain” ini
memuncak pada filsafat “God is dead”
(Tuhan telah mati)[3].
Na’udzubillah.
Adanya dampak tersebut yang
disebabkan arus modernisasi dimungkinan tidak adanya respon positif dalam
menyikapinya, buktinya, ketika hal itu disikapi positif maka akan menjadi suatu
inovasi budaya yang akan menjadikan kebudayaan itu tidak punah contoh,
bagaimana nasib kesenian wayang jika tidak diperbarui (dimodernisasi) menjadi
wayang kulit oleh Ust. Raden Syahid atau Sunan Kalijaga yang sebelumnya berupa
wayang orang (boneka yang mirip dengan manusia)? padahal para wali saat itu
memberikan fatwa haram karena kemiripannya dengan rupa manusia dan bagimana
pula nasib tradisi kenduren, mitungdinane, dan patangpuluh dina jika para wali sanga
tidak memasukan (inovasi) unsure keIslaman di dalamnya, dan banyak
contoh-contoh lain yang merupakan manfa’at dari modernisasi.
Sebuah Catatan
Indonesia yang kaya
akan kebudayaan tidak akan bisa mandiri jikalau masyarakat—lebih-lebih
pemuda—kurang menghargai kebudayaan dan kearifan lokal yang ada, bahkan mereka
menganggap kuno sesuatu yang berharga itu, selain itu peran pemerintah kurang
memperhatikan akan kelestarian kebudayaan, bahkan cendrung untuk
(seakan-seakan) “menghilangkannya”. Padahal keragaman budaya, kearifan lokal,
ragam seni, suku, dan keragaman yang lain menjadi ciri khas Negara yang ketika
ciri khas itu dihilangkan, maka akan mudah bagi bangsa luar untuk mengambil
kekayaan-kekayaan Negara dan secara diam-diam penjajahan model baru
(neokolonialisme) bertandang di Indonesia yang memang dipersiapkan secara
matang oleh kekuatan di luar Indonesia sejak lahir tahun 1950-an, dan di Bantu
oleh orang Indonesia sendiri, dengan apa yang yang disebut sebagai kelompok
ekonom Mafia Berkeley atau Mafia Orde Baru (Dr. Rizal Ramli). Ironis memang
keadaan Negara kita, mungkin banyaknya TKW/TKI yang mengabdi di luar negri demi
mendapat sesuap emas, penyebab salah satunya adanya neokolonialisme.
Daftar Pustaka
Hadiwijaya, 2010, Tokoh-Tokoh
Kejawen; Ajaran dan Pengaruhnya, EULE
BOOK, Yokyakarta
Suhartono, Suparlan, 2009 Filsafat Pendidikan, Jokjakarta; Ar-Ruz Media
Jauharudin, Adien, 2008. Aswaja Manhajul harakah, Jakarta ; PMPI
Aziz, Qadri, 2004, Melawan Globalisasi;
Reinterpretasi Ajaran Islam, yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR
[1] Yang menjadi bagian dari
sikap kemasyarakatan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama’, lihat Adien
Jauharudin “Aswaja Manhajul harakah (Methodologi Bergerak)”, hal. 98
[2] Dalam kajian
kependidikan dikenal erti sempit pendidikan, arti luas pendidikan dan arti
alternative pendidikan (lihat; Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, hlm .87-89)
[3] Qodri Azizy, Melawan
Globalisasi, hal. 9