Militansi
Kader PMII sebagai Generasi Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama’ah
Oleh: Forum Kader
Pesantren Rakyat (FKPR) Malang
Terbentuknya
pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur,
berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen
memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia (Tujuan PMII ad/art BAB IV pasal 4)[1].
Pendahuluan
Ketika mendengan kata militansi
mungkin sudah tidak asing lagi bahwa yang dimaksut militansi kader adalah kader
PMII yang memang mempunyai jiwa juang yang teguh dalam menjaga dan
memperjuangkan nilai-nilai ke-PMIIan, yakni keislaman dan keindonesiaan yang
merupakan sublimasi dari al-Qur’an, Hadits, UUD 1945 dan pancasila yang artinya
kader PMII wajib menjunjung tinggi nilai luhur keagamaan sebagaimana tujuan
PMII (ketaqwaan), dengan berbekal intelektual yang memadai (intelektualitas)
dan disertai jiwa nasionalisme dengan berkomitmen meperjuangkan cita-cita
kemerdekaan (kebangsaan)
Kondisi kader-kader PMII dari
waktu-ke waktu kian berubah, pasalnya hal ini ditengarai budaya konsumtif yang
meliputi dunia global tidak terkecuali mahasiswa di Indonesia yang merasa asik
denga style atau gaya hidup yang serba mewah dengan melupakan tri dharma
perguruan tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) yang
sebenarnya dipegang teguh dalam berkehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi
melihat kader-kader PMII yang unhistoris atau melupakan sejarah kePMIIan
dengan serangkaian ideology dan manhajnya sebagai warga nahdliyyin dengan
melupakan nilai-nilai keagamaan—dengan bertingkah di luar nilai keislaman (akhlaq
madzmumah)—dan keintelektualan dengan pola hidup yang jauh dari tradisi
membaca.
Setidaknya
dalam tulisan ini, penulis mempunyai ikhtiar untuk merefresh kembali tentang
tugas-tugas mahasiswa pada umumnya dan warga PMII pada khususnya yang tugas
tersebut merupakan penerjemahan dari tri motto PMII (dzikir, fikir dan amal
shaleh), tri khidmat (Taqwa, Intelektualitas dan profesionalitas) dan tri
komitmen PMII (kejujuran, kebenaran dan keadilan)
Mandat
Keagamaan PMII (Taqwa yang
dicapai dengan selalu berdzikir akan memunculkan pribadi yang jujur)
PMII
dengan keislamannya menuntut warganya untuk selalu menjunjung tinggi nilai
keagamaan, baik dalam ketauhidan, ubudiyah ataupun dalam kehidupan
sosial. Dalam hal ketauhidan dan ibadah tidak diragukan lagi bahwa warga PMII
yang berpanutan kepada para masyayikh ahlu as-sunnah wa al-jama’ah mengikuti
mdzhab tauhid imam al-Asy’ari dan al-Maturidi dan salah satu madzhab fiqih yang
sangat terkenal dengan madzahib al-arba’ah (Malikiy, Syafi’iy, Hanbali
dan Hanafi) yang sebenarnya tidak boleh ditinggalkan selama mampu bermanhaj
atau mempunyai metodologi istinbat hokum sendiri yang itupun tidak sedikit
syarat dan prasyarat sebagai seorang mujtahit muthlak.
Dalam hal berkehidupan sosial, warga
pergerakan ini setidaknya harus menjaga prilaku (moral) terhadap orang lain
(sesama manusia) dan dengan alam sekitar. Hal pertama yang menjadi titik
fundamental dalam kehidupan sosial adalah menjaga ucapan karena memang banyak
beberapa hadits dan ayat yang sangat memberika wejangan-wejangan tentang
bahanya sebuah ucapan;
انَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ
لِسَانِهِ وَيَدِهِ[2]
Artinya: “Ada
seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab,
“Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan
tangannya”.
Dalam
hal ini Nabi Muhammad SAW memberikan anjuran sekaligus solusi dalam menjaga
lisan dan bahkan dengan sangat keras beliau memberikan statement, bahwa orang
yang tidak menjaga lisannya dengan baik sebagai orang yang tidak beriman,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت[3]
Artinya: dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”
Dalam
hal ini ada dua kategori ucapan yang negatif menurut pandangan Islam yakni, pertama
negatif fi adz-dzat yaitu ucapan yang memang mempunyai konotasi
buruk secara umum, dan kedua negatif bi as-sabab yaitu sebuah
ucapan yang sebenarnya tidak mempunyai konotasi negatif namun karena
menyebabkan orang lain tersinggung dan sakit hati maka menjadi hal yang
terlarang, dalam hal ini firman Allah:
قَوْلٌ
مَّعْرُوفٌ وَ مَغْفِرَةٌ خَيْرُ مِّنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآأَذًى
وَاللهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Artinya: “Perkataan yang
baik dan pemberian maaf, lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu
yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”
Selain menjaga
ucapan, dalam bermoral (akhlaq) warga PMII juga dituntun untuk menjaga sikap
dan dalam hal ini sangat simple sekali yaitu dengan menyayangi yang labih muda
(dengan membimbing dan tidak mengintervensi politik dengan
kepentingan-kepentinga individual atau kelompok tertentu) dan menghormati yang
lebih tua[4]
(senior) dengan tetap menjaga tali silaturrahim, meminta nasehat-nasehat dan
bimbingan dalam berPMII, karena bagaimanapun senior adalah kader yang membawa
adik-adiknya untuk mengenal PMII. Dan tidak kalah pentingnya dalam hal menjaga
kelestarian alam dan lingkungan karena itu juga bagian dari subtansi keimanan[5].
Mandat Keintelektualan
PMII (Intelektualitas
yang dicapai dengan selalu berfikir akan memunculkan pribadi yang menjunjung
tinggi kebenaran)
Selain
bertaqwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan baik dengan ibadah atau sosial,
warga PMII juga mempunyai tugas keilmuan yang dengan itu, dituntut untuk selalu
belajar, baik tekstual dengan membaca, ngaji kitab dan lain-lain atau
dengan cara dialog yakni diskusi. Karena hal itu—keilmuan—selain pegangan
mahasiswa dengan tri dharma perguruan tinggi juga merupakan suatu pembeda
dengan golongan lain (orang tidak berilmu) firman Allah SWT
قُلْ
هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Katakan (wahai
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apakah sama antara orang yang berilmu
dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9)
Ibn Qayyim
menjelaskan, bahwa dalam ayat di atas Tuhan menafikan unsur kesamaan antara
orang berilmu dengan yang tidak berilmu sebagaimana perbedaan antara penduduk
surga dan neraka sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Hasyr: 20[6].
Di
lain pihak mencari ilmu (red. Belajar) memang suatu kewajiban yang
diperintahkan oleh Tuhan dan Rosulnya sebagaimana firman Allah dalam surat Al
Mujaadilah: 11. Dan banyak lagi keutamaan dan anjuran dalam menuntut ilmu, baik
dal;am al-Qur’an, Hadits atau maqolah-maqolah para ulama dalam kitab
klasiknya.
Mandat Kebangsaan
PMII (sikap
profesional yang dicapai dengan beramal shaleh akan berindikasi pada kehidupan
sosial yang adil)
Dengan ke-Indonesiaannya PMII
mempunyai tugas untuk mempertahankan negara dengan empat pilarnya yaitu,
pancasila, bhineka tunggal ika, NKRI dan UUD 1945 sebagai wujud kecintaannya
kepada bumi pertiwi, dan hal ini dianjurkan oleh Nabi Muhammad ketika
menunjukkan cinta beliau kepada tanah kelahiran makkah namun harus hijrah
karena faktor konflik[7]
dan juga firman Allah dalam surat Saba: 15.
Dengan kondisi Negara yang nagka
korupnya tinggi, maka sebagai warga pergerakan dengan ruh perjuangannya dan
jiwa kritis sosialnya ada dua hal yang ahrus dilakukan sebagai perintah amar
ma’ruf nahi mungkar. Pertama, menempati wilayah-wilayah strategis dan membawa
ruh perjuangan tersebut bersama aspirasi rakyat menggunakan kekuatan parlemem
karena anggota parlemenlah dengan serangkaian siding-sidangnya menentukan nasib
bangsa setidaknya kurang lebih lima tahun berikutnya, kedua, tetap
menjadi rakyat namun menempati stakeholder di masyarakat bawah dan
menggunakan kekuatan rakyat untuk merubah kebangsatan sebuah system kenegaraan. (M.SyaZ)
Wallahul
Muwaffieq Ilaa Aqwamith Thariq
[1] Buku-buku hasil kongres XVII PMII. Hal. 19
[2] Hadis riwayat
Imam Muslim. No 64
[3] Kitab Shohih Bukhari no. 6475,
Muslim no. 74 dan Imam Nawawi dalam kitab al-Arba’in Nawawi. No.
15
[4] Syekh Umar bin
Ahmad Baraja dalam Akhlaq li al-banin fi bab adab al-walad. Juz 1
[5] Imam Nawawi dalam kitab al-Arba’in Nawawi. No.
23
[6] Ibn Qoyyim
dalam kitab Miftah Dar As-Sa’adah, 1/221
[7]
al-hafidz
al-haitami,musnad al-haris juz 1 hal.460.