Oleh : Moch Syamsul Arifin. Zrt
Membaca sekilas
judul artikel di atas seakan-akan penulis menginginkan perbandingan atau ketidak-setujuan
dengan istilah wakaf uang yang selama ini kurang akrab di telinga masyarakat.
Namun tujuan sebenarnya adalah mencari penjelasan lebih lanjut dari pembaca
terkait wakaf uang, khususnya yang terkandung dalam buku Wakaf Uang yang
ditulis oleh Bapak Sudirman Hasan 2011 silam, dan juga agar kita lebih
bijaksana dalam memilih istilah yang lebih diterima dan akrab dengan masyarakat
dengan tujuan Islam yang Rahmatan Lil Alamin ini merakyat dan
memasyarakat baik dalam hal amaliyah ataupun istilah-istilah di
dalamnya.
Dalam kehidupan
masyarakat tentunya sangat tidak asing lagi dengan kata wakaf yang pada
prakteknya sering kita temui wakaf berupa tanah atau bangunan yang sifat
bendanya tetap atau tidak hilang namun dapat dimanfaatkan dalam waktu yang
lama. Namun apakah masyarakat akrab dengan wakaf uang? Karena yang selama ini
diketahui uang adalah benda bernilai yang disahkan oleh pemerintah untuk alat
pembayaran atau menukar dengan barang lain atau jasa.
Bercermin pada definisi wakaf dalam beberapa kitab klasik semisal
Fathul Qorib tertulis:
وهو لغة الحبس
وشرعا حبس مال معين قابل للنقل يمكن
الانتفاع به مع بقاء عينه وقطع التصرف فيه على ان يصرف في جهة الخير تقربا الى الله
تعالى
Dalam tulisan ini Imam Ahmad bin Al-Husen bin Ahmad Al-Asbahaniy
atau yang lebih dikenal dengan Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ menegaskan bahwa wakaf
adalah menahan harta tertentu yang bisa dipindah kepemilikan dan bisa
dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghilangkan barangnya dan yang lebih
penting penggunaan atau hasil dari barang yang diwakafkan hanya untuk kebaikan
dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dan lebih lanjut dalam hal ini
tentu syarat barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang tidak hilang atau
berkurang ketika diambil manfaatnya.
Dalam buku
Wakaf Uang yang ditulis oleh mantan Ketua Elzawa UIN Malang ini memang banyak
ditemukan referensi atau literatur-literatur mulai hadits sampai kitab-kitab
klasik dan modern. Namun yang saya temui hanyalah berputar pada masalah
definisi seakan-akan untuk mencari pembenaran atau dukungan hukum bolehnya
wakaf dalam bentuk uang bahkan mengambil definisi dari komisi fatwa MUI
tertanggal 11 Mei 2002[1].
Namun terlepas dengan pro atau kontra tentang wakaf uang yang perlu kita
perhatikan adalah tentang syarat barang yang akan diwakafkan yaitu:
ان يكون الموقوف
مما ينتفع به مع بقاء عينه
Bahwasanya sesuatu atau barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang
bisa diambil manfaatnya namun barangnya tidak berkurang atau hilang.
Dalam
persyaratan ini sangat masuk akal apabila wakaf yang sering dipraktekkan oleh
masyarakat adalah tanah, karena dalam kenyataannya tanah bisa menghasilkan
manfaat baik dalam bentuk bangunan atau saham sebagaimana pertanian yang hasilnya
dikelola untuk kemaslahatan baik tempat-tempat ibadah ataupun lembaga-lembaga
pendidikan.
Sekarang kita kembali kepada topic utama yakni wakaf uang. Dari
definisi dan persyaratan di atas, tentunya uang menjadi perhatian yang khusus
dalam hal perwakafan. Di satu sisi uang adalah benda yang bernilai sebagai alat
pembayaran yang sah yang tentunya ketika dikelola pasti akan hilang atau
berkurang, atau bahkan uang akan bisa tertukar dengan uang yang lain dengan
nilai yang sama. Di sisi yang lain, uang meskipun barangnya hilang atau
tertukar, namun bisa saja nilainya (rupiahnya kalau di Indonesia) itu tetap,
dan juga apabila uang ini dikelola dengan produktif maka bisa mempunyai manfaat
atau hasil bahkan melebihi hasil pertanian (jika dalam hal ini dibandingkan
dengan wakaf tanah, dan mungkin karena ini ada istilah lain untuk uang ketika
uang itu menjadi barang pinjaman yang harus dikembalikan, yakni kalau kalau
barang selain uang itu dinamakan akad ‘ariyah (pinjaman) karena hanya
mengambil manfaat dengan tanpa mengurangi zatnya atau barangnya, sedangkan
untuk uang itu diistilahkan dengan al-Qardhu (hutang-piutang) karena
uang bisa hilang, tertukar atau habis, namun pengembaliannya sesuai dengan
nilai yang dihutangkan.
Terlepas dari
sifat uang yang bisa hilang barangnya namun nilainya bisa tetap, kita mengulas
kembali dalam fiqih, banyak Istilah sebenarnya dalam hal pengelolaan uang atau
barang yang bertujuan dengan kebaikan atau taqorrub kepada Allah SWT
seperti hibah, atau shodaqoh. Artinya terlepas dari pro dan kotra
tentang Wakaf Uang, seyogyanya kalau mau bijaksana, untuk mengelola uang untuk
kebaikan yang bersifat keagamaan tidak harus memakai istilah wakaf yang dalam
syarat dan pendefinisan wakaf, uang hamper tidak masuk kategori barang yang
diwakafkan. Hal ini selaras dengan qoidah fiqih disebutkan:
“keluar dari perbedaan adalah disunnahkan”
|
الخروج
من الخلاف مستحب
|
Artinya jikalau ada pro kontra (berdasarkan definisi dan syarat
wakaf, dan pengelolaan uang) ataupun kurang familiyar ditelinga masyarakat,
setidaknya ketika uang ingin dikelola (ditashorrufkan) untuk kebaikan dan
mendekatkan diri pada Allah SWT, maka tidak perlu uang tersebut diakadkan atau
diistilahkan dengan wakaf, selain wakaf masih ada istilah shadaqah atau hibah
yang fungsinya hamper sama dengan wakaf.
Semoga bermanfaat
Malang, 16 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar