dropdown

Selasa, 16 Agustus 2016

KAJIAN ULANG TERHADAP WAKAF UANG (Sebuah Pencarian Pemahaman dalam Buku Wakaf Uang Karya Sudirman Hasan)


Oleh : Moch Syamsul Arifin. Zrt

Membaca sekilas judul artikel di atas seakan-akan penulis menginginkan perbandingan atau ketidak-setujuan dengan istilah wakaf uang yang selama ini kurang akrab di telinga masyarakat. Namun tujuan sebenarnya adalah mencari penjelasan lebih lanjut dari pembaca terkait wakaf uang, khususnya yang terkandung dalam buku Wakaf Uang yang ditulis oleh Bapak Sudirman Hasan 2011 silam, dan juga agar kita lebih bijaksana dalam memilih istilah yang lebih diterima dan akrab dengan masyarakat dengan tujuan Islam yang Rahmatan Lil Alamin ini merakyat dan memasyarakat baik dalam hal amaliyah ataupun istilah-istilah di dalamnya.
Dalam kehidupan masyarakat tentunya sangat tidak asing lagi dengan kata wakaf yang pada prakteknya sering kita temui wakaf berupa tanah atau bangunan yang sifat bendanya tetap atau tidak hilang namun dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lama. Namun apakah masyarakat akrab dengan wakaf uang? Karena yang selama ini diketahui uang adalah benda bernilai yang disahkan oleh pemerintah untuk alat pembayaran atau menukar dengan barang lain atau jasa.
Bercermin pada definisi wakaf dalam beberapa kitab klasik semisal Fathul Qorib tertulis:
وهو لغة الحبس وشرعا  حبس مال معين قابل للنقل يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه وقطع التصرف فيه على ان يصرف في جهة الخير تقربا الى الله تعالى
Dalam tulisan ini Imam Ahmad bin Al-Husen bin Ahmad Al-Asbahaniy atau yang lebih dikenal dengan Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ menegaskan bahwa wakaf adalah menahan harta tertentu yang bisa dipindah kepemilikan dan bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghilangkan barangnya dan yang lebih penting penggunaan atau hasil dari barang yang diwakafkan hanya untuk kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dan lebih lanjut dalam hal ini tentu syarat barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang tidak hilang atau berkurang ketika diambil manfaatnya.
Dalam buku Wakaf Uang yang ditulis oleh mantan Ketua Elzawa UIN Malang ini memang banyak ditemukan referensi atau literatur-literatur mulai hadits sampai kitab-kitab klasik dan modern. Namun yang saya temui hanyalah berputar pada masalah definisi seakan-akan untuk mencari pembenaran atau dukungan hukum bolehnya wakaf dalam bentuk uang bahkan mengambil definisi dari komisi fatwa MUI tertanggal 11 Mei 2002[1]. Namun terlepas dengan pro atau kontra tentang wakaf uang yang perlu kita perhatikan adalah tentang syarat barang yang akan diwakafkan yaitu:
ان يكون الموقوف مما ينتفع به مع بقاء عينه
Bahwasanya sesuatu atau barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang bisa diambil manfaatnya namun barangnya tidak berkurang atau hilang.
Dalam persyaratan ini sangat masuk akal apabila wakaf yang sering dipraktekkan oleh masyarakat adalah tanah, karena dalam kenyataannya tanah bisa menghasilkan manfaat baik dalam bentuk bangunan atau saham sebagaimana pertanian yang hasilnya dikelola untuk kemaslahatan baik tempat-tempat ibadah ataupun lembaga-lembaga pendidikan.
Sekarang kita kembali kepada topic utama yakni wakaf uang. Dari definisi dan persyaratan di atas, tentunya uang menjadi perhatian yang khusus dalam hal perwakafan. Di satu sisi uang adalah benda yang bernilai sebagai alat pembayaran yang sah yang tentunya ketika dikelola pasti akan hilang atau berkurang, atau bahkan uang akan bisa tertukar dengan uang yang lain dengan nilai yang sama. Di sisi yang lain, uang meskipun barangnya hilang atau tertukar, namun bisa saja nilainya (rupiahnya kalau di Indonesia) itu tetap, dan juga apabila uang ini dikelola dengan produktif maka bisa mempunyai manfaat atau hasil bahkan melebihi hasil pertanian (jika dalam hal ini dibandingkan dengan wakaf tanah, dan mungkin karena ini ada istilah lain untuk uang ketika uang itu menjadi barang pinjaman yang harus dikembalikan, yakni kalau kalau barang selain uang itu dinamakan akad ‘ariyah (pinjaman) karena hanya mengambil manfaat dengan tanpa mengurangi zatnya atau barangnya, sedangkan untuk uang itu diistilahkan dengan al-Qardhu (hutang-piutang) karena uang bisa hilang, tertukar atau habis, namun pengembaliannya sesuai dengan nilai yang dihutangkan. 
Terlepas dari sifat uang yang bisa hilang barangnya namun nilainya bisa tetap, kita mengulas kembali dalam fiqih, banyak Istilah sebenarnya dalam hal pengelolaan uang atau barang yang bertujuan dengan kebaikan atau taqorrub kepada Allah SWT seperti hibah, atau shodaqoh. Artinya terlepas dari pro dan kotra tentang Wakaf Uang, seyogyanya kalau mau bijaksana, untuk mengelola uang untuk kebaikan yang bersifat keagamaan tidak harus memakai istilah wakaf yang dalam syarat dan pendefinisan wakaf, uang hamper tidak masuk kategori barang yang diwakafkan. Hal ini selaras dengan qoidah fiqih disebutkan:
“keluar dari perbedaan adalah disunnahkan”
الخروج من الخلاف مستحب
Artinya jikalau ada pro kontra (berdasarkan definisi dan syarat wakaf, dan pengelolaan uang) ataupun kurang familiyar ditelinga masyarakat, setidaknya ketika uang ingin dikelola (ditashorrufkan) untuk kebaikan dan mendekatkan diri pada Allah SWT, maka tidak perlu uang tersebut diakadkan atau diistilahkan dengan wakaf, selain wakaf masih ada istilah shadaqah atau hibah yang fungsinya hamper sama dengan wakaf.
Semoga bermanfaat
Malang, 16 Agustus 2016



[1] Tertulis dalam buku wakaf uang halaman 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman