dropdown

Rabu, 10 Agustus 2016

Menyeragamkan Bangsa Indonesia; Sama dengan Merobohkan Negara



(Sebuah Ikhtiar Berwawasan dalam Menjaga Kemajemukan Bangsa)
(Oleh: Moch. Syamsul Arifin*)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(Qs: Al-Hujurat: 13)

Pendahuluan
Bumi nusantara merupakan Negara (nation) yang mempunyai keragaman suku, etnis, bahasa, dan terdiri atas beribu pulau (yang mungkin menjadi salah satu alasan dinamakan Indonesia yang berasal dari kata hindian-nesos) bahkan sebelum Indonesia terbentuk sebagai Negara yakni pada zaman kerajaan, mulai kerajaan Sriwijaya, Mataram, Majapahit sampai kerajaan Demak sekalipun, nilai multi-kuturlisme tersebut sudah singgah di bumi nusantara. Keberagaman tersebut pada hakikatnya memberi identitas khusus serta menjadi modal dasar sebagai pengembangan budaya bangsa yang secara keseluruhan perlu dan dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap agama dan suku bangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, oleh karena itu Indonesia merupakan Negara yang majemuk yang penuh dengan perbedaan yang tidak terbantahkan.
Lain lubuk lain airnya, lain pula ikannya, lain orang lain kepala, lain pula hatinya, mungkin pepatah ini bisa kita jadikan rujukan bagi kita ketika melihat sebuah bangsa yang plural yang penuh dengan perbedaan, oleh karena itu pancasila dan bhinneka tunggal ika menjadi dasar Negara demi menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Kemajemukan Merupakan Kekuatan Negara
            Kemajemukan merupakan ‘penyatuan’ dari perbedaan-perbedaan, baik etnis, bahasa, suku, maupun agama yang menjadi ciri khas Negara Indonesia, hal ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Negara dalam memerdekaan bangsa serta menjaga keutuhan bangsa, ketika zaman penjajah misalnya, dalam mengusir penjajah berbagai suku, etnis, dan agama berkumpul dalam satu ide yakni mengusir penjajah yang kemudian berkat ketekunan para pejuang (yang di dalamnya terdiri dari berbagai perbedaan yang ada di Indonesia) Indonesia menjadi bangsa yang merdeka sampai saat ini.
            Dalam ajaran dan doktrin-doktrin Islam, banyak disinggung masalah perbedaan, di antaranya dalam sabda Nabi Muhammad SAW “ikhtilafu ummati rahmatun (HR. Ibnu Majah, Imam Ahmad Ibn Hambal dan Muttafaqun Alaih)” yang dalam arti subtansinya menjelaskan kepada ummatnya bahwa hakikat dari perbedaan menjadi kekuatan tersendiri bagi ummat, salah satu contoh ketika anggota walisongo bermusayawarah untuk membahas tentang tradisi-tradisi masyarakat pribumi yang merupakan warisan para leluhur mereka yang masih berpegangteguh pada faham animisme dan dinamisme, dan pada awalnya banyak kalangan dari anggota musyawarah yang mengharamkan dan menganggap musyrik orang yang melakukan kegiatan ini, sehingga kegiatan semacam itu harus dihilangkan dan sebagian lagi masih mempertahankan, karena masyarakat waktu itu masih belum siap untuk meninggalkan warisan tradisi nenek moyang tersebut, namun atas adanya perbedaan itu diambillah jalan tengah dengan mempertahankan kegiatan tersebut dengan pertimbangan supaya masyarakat tidak lari dari Islam yang kala itu baru mereka anut, hanya saja warna kegiatan itu atau tekhnis kegiatannya diganti dengan ala Islam, maka lahirlah tahlill, istighotsah dan bentuk kearifan-kearifan lainnya, hal ini menunjukkan betapa hebatnya sebuah perbedaan, mulai dari perbedaan pendapat sampai perbedaan etnis ketika ditanggapi positif. Namun, lain dari hal itu kita akan dihadapkan masalah-masalah klasik (tidak asing bagi kita) ketika sebuah perbedaan itu ditanggapi sebagai hal yang negatif tidak hanya harta yang menjadi taruhannya, nyawapun akan melayang seperti yang dialami suku (maaf) Madura dan Dayak yang hanya dilatarbelakangi pertikaian beberapa gelintir orang sampai membawa atas nama etnis, maka menjadi tugas kita bersama (Bangsa dan Negara) dalam menjaga perbedaan tidak menjadi sebuah pertikaian, namun menjadi sebuah kekuatan bagi bangsa dan Negara seperti ketika bangsa ini merebut kemerdekaan dari penjajah.
Kemajemukan Sebagai Identitas Negara
Sebagaimana pemaparan di atas, bahwa Indonesia dibangun dari beberapa agama, budaya dan suku bangsa dan bahasa (kurang lebih 360 suku bangsa dan bahasa yang ada di Indonesia), bahkan kemerdekaan bangsa tidak lepas dari (salah satunya) kemajemukan bangsa yang mempunyai satu ide dalam berjuang, maka tidak diragukan lagi, bahwa kemajemukan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Sebagai Negara yang mempunyai nilai pluralitas yang tinggi dengan adanya berbagai suku bangsa, agama, dan lain sebagainya dibanding Negara- Negara lainnya, Indonesia (bangsa) tidak boleh berbangga diri karena hal itu menjadi kekuatan tersendiri bagi Negara sebagaimana yang telah dibuktikan oleh para pejuang kemerdekaan, padahal di lain pihak, dengan perbedaan-perbedaan tersebut bangsa ini mempunyai sifat fanatis terhadap suku dan agama masing-masing yang itu memberi dorongan akan timbulnya konflik, juga dalam hal budaya, bangsa ini merupaka negara yang kaya akan budaya warisan para leluhur yang hal itu akan berdampak bagi generasinya mempunyai dua sikap dalam menghadapi budaya warisan leluhurnya, yakni, pertama, sikap fanatis terhadap budaya yang mengakibatkan rawannya konflik antar etnis, agama dan lain sebagainya dan terlena akan budaya yang telah ada yang akhirnya menjadikan bangsa ini malas untuk memunculkan budaya-budaya yang baru, padahal bangsa ini sangat berpotensi untuk menciptakan budaya-budaya baru sebagaimana yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, kedua, sikap acuh terhadap budaya dalam negeri yang mengakibatkan hilanganya jiwa nasionalisme hanya karena merasa gengsi mengakui budaya negeri sendiri, dan mungkin ini salah satu alasan mengapa sebagian budaya-budaya kita diakui oleh negara lain? Sekedar contoh dalam hal ini adalah maraknya gaya hidup barat (west) bukan cuma pakaian, musik—lebih banyak mana pemuda Indonesia yang menyukai musik tradisional seperti dangdut dengan yang menyukai musik yang dibawakan oleh Justin Bieber?—dalam berbahasa-pun seseorang akan dianggap kaum intelektual apabila memakai bahasa barat (inggris)—sekedar renungan; berapa banyak generasi bangsa (pemuda Jawa) yang mengenal tulisan jawa?—maka sudah menjadi tanggungjawab bangsa (masyarakat) dan Negara (pemerintah) untuk memberikan penyadaran bagi masyarakat, khususnya pemuda karena pemuda adalah pemimpin masa depan melalui pendidikan dan kegiatan-kegiatan keagamaan (pada poin inilah bangsa ini sangat membutuhkan lembaga keagamaan seperti pesantren yang mampu mengemban amanat keagamaan dan kenegaraan demi terciptanya bangsa yang bertaqwa dan mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi) juga secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa, dalam artian, dalam menghadapi keberagaman budaya, Negara berupaya menjalin persatuan—Bhinneka Tunggal Ika—dan bersikap toleran dalam perbedaan, urusan kemasyarakatan, dan kebudayaan[1], karena ketika tidak ada toleransi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut, maka akan menjadi konflik berkepanjangan baik antar suku, etnis, maupun antar agama.
Sebuah Kemustahilan Menghilangkan Kemajemukan dalam Negara
Setengah abad lebih bangsa ini hidup dalam sebuah Negara yang berpancasila dan binheka tunggal ika yang menjadi dasar Negara kita, tentunya kita sudah merasakan betapa pentingnya menjaga keharmonisan dengan golongan (suku, agama, dan lain-lain) selain golongan kita, inilah Indonesia, hidup berdampingan meskipun berbeda keyakinan dan suku menjadi nilai positif tersendiri bagi sang empunya Negara.
Tentunya kita pernah mendengar di berita-berita lewat media, baik cetak maupun elektronik tentang kejadian-kejadian anarkis yang dilakukan oleh sekelompok yang mengatas-namakan diri pembela Islam, begitu juga berita yang mengejutkan dari pulau dewata yang merupakan aset bangsa yang dibom beberapa tahun lalu, ada lagi pemboman hotel, gereja dan banyak lagi kasus pem-bom-an yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan dalih membunuh orang kafir demi membela agama, bahkan tidak jarang bom bunuh diri dilakukan dengan alasan mendapat iming-iming mati syahid yang menjanjikan syurga, hal tiu sekedar contoh sebagian kelompok atau golongan yang ingin menghilangkan kemajemukan yang sudah menjadi identitas Negara dengan melenyapkan orang atau golongan yang tidak seagama, dalam artian perbedaan agama sekaligus kebebasan dalam memeluk suatu agama yang sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia akan dihilangkan yakni dengan jalan men-seragamkan agama yang ada di Indonesia dengan satu nama, yakni Islam, itu hal yang mustahil dan tidak mempunyai dasar apapun.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk memberi kebebasan bagi bangsa untuk memeluk agama yang mereka yakini, dalam piagam madinah tertulis “inna al-yahuda wa an-nashara wa al-ladzina amanuw hum ikhwatun fala ‘udwana illa ‘ala adz-dzalimin” (Ibnu Hisyam dalam kitab Sirah Nabawiyah) yang berarti bahwa nilai pluralitas dan kebebasan beragama dalam suatu Negara sangat dijunjung tinggi oleh Nabinda Muhammad SAW, dan beliau menegaskan, bahwa musuh kita bukan yahudi, nashrani atau sesama Islam karena agamanya, tapi karena kedzalimannyalah maka seseorang itu menjadi musuh bersama, tidak kalah menariknya firman Tuhan dalam Al-Qur’an Surat Al-baqarah ayat 256 yang berbunyi ”La ikraha fi ad-din qad tabyyana ar-rusydu mina al-ghay” yang dalam ayat ini Tuhan menjelaskan tidak ada paksaan bagi manusia untuk memeluk suatu agama, dalam artian Tuhan tidak memaksa manusia dalam memeluk suatu agama untuk diyakini, kemudian kenapa manusia memaksa manusia lain untuk memeluk suatu agama, padahal kebasan beragama dilindungi oleh Tuhan? Maka pemaksaan-pemaksaan semacam itu hanya akan menghancurkan keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia..
Penutup
Dalam hidup berbangsa dan bernegara setidaknya dalam diri kita terdapat tiga mandate atau tugas yang harus kita laksanakan, yakni, pertama, tugas keagamaan. Sebagai umat beragama tentunya kita sudah diberi doktrin-doktrin, baik dari firman Tuhan maupun sabda Nabi akhir zaman tentang kewajiban kita dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, karena itu yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan kita sebagai makhluq yang diciptakan oleh Tuhan, kedua, tugas keintelektualan. Dalam hal ini manusia yang dianugerahi akal oleh Tuhan, yang berfungsi untuk berfikir, sedangkan dalam berfikir ada dua kekuatan dahsyat bernama arus jahat (necrophilia) dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia)[2] yang selalu memberikan bisikan dalam fikiran manusia, maka untuk membedakan antara fikiran baik dan buruk diwajibkan bagi kita untuk mengasah keintektualan kita dengan menuntut ilmu dan belajar, ketiga, tugas kenegaraan. Dalam suatu Negara, bukan hanya pemerintah atau aparatur Negara yang wajib menjaga keamanan, kelestarian alam, kebersihan, dan lain sebagainya, tapi peran masyarakat juga sangat dibutuhkan, bahkan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masyarakat berada garda terdepan, yakni dengan mencintai serta menjaga kemudian melestarikan budaya-budaya Indonesia, dan mampu hidup berdampingan dengan harmonis, meskipun berbeda agama, etnis atau bahasa.

Semoga Bermanfa’at . . . !
Wallahul Muwaffieq Ila Aqwamith Thariq

♠  
[1]       Yang menjadi bagian dari sikap kemasyarakatan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama’, lihat Adien Jauharudin “Aswaja Manhajul harakah (Methodologi Bergerak)”, hal. 98
[2] Munawwir Yamin, Memanusiakan Manusia, hal. 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman