(Sebuah Ikhtiar Berwawasan dalam Menjaga Kemajemukan Bangsa)
(Oleh: Moch. Syamsul Arifin*)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara
kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
(Qs: Al-Hujurat: 13)
Pendahuluan
Bumi nusantara merupakan Negara (nation) yang mempunyai keragaman suku, etnis, bahasa, dan terdiri
atas beribu pulau (yang mungkin menjadi salah satu alasan dinamakan Indonesia
yang berasal dari kata hindian-nesos)
bahkan sebelum Indonesia terbentuk sebagai Negara yakni pada zaman kerajaan,
mulai kerajaan Sriwijaya, Mataram, Majapahit sampai kerajaan Demak sekalipun,
nilai multi-kuturlisme tersebut sudah singgah di bumi nusantara. Keberagaman
tersebut pada hakikatnya memberi identitas khusus serta menjadi modal dasar
sebagai pengembangan budaya bangsa yang secara keseluruhan perlu dan dapat
didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap agama dan suku
bangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang berbeda antara suku
bangsa yang satu dengan yang lainnya, oleh karena itu Indonesia merupakan
Negara yang majemuk yang penuh dengan perbedaan yang tidak terbantahkan.
Lain lubuk lain airnya, lain pula ikannya, lain orang
lain kepala, lain pula hatinya, mungkin pepatah ini bisa kita jadikan rujukan
bagi kita ketika melihat sebuah bangsa yang plural yang penuh dengan perbedaan,
oleh karena itu pancasila dan bhinneka tunggal ika menjadi dasar Negara demi
menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Kemajemukan Merupakan
Kekuatan Negara
Kemajemukan merupakan ‘penyatuan’
dari perbedaan-perbedaan, baik etnis, bahasa, suku, maupun agama yang menjadi
ciri khas Negara Indonesia, hal ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Negara
dalam memerdekaan bangsa serta menjaga keutuhan bangsa, ketika zaman penjajah
misalnya, dalam mengusir penjajah berbagai suku, etnis, dan agama berkumpul
dalam satu ide yakni mengusir penjajah yang kemudian berkat ketekunan para
pejuang (yang di dalamnya terdiri dari berbagai perbedaan yang ada di
Indonesia) Indonesia menjadi bangsa yang merdeka sampai saat ini.
Dalam ajaran dan
doktrin-doktrin Islam, banyak disinggung masalah perbedaan, di antaranya dalam
sabda Nabi Muhammad SAW “ikhtilafu ummati
rahmatun (HR. Ibnu Majah, Imam Ahmad Ibn Hambal dan Muttafaqun Alaih)” yang dalam arti subtansinya menjelaskan kepada
ummatnya bahwa hakikat dari perbedaan menjadi kekuatan tersendiri bagi ummat,
salah satu contoh ketika anggota walisongo bermusayawarah untuk membahas tentang
tradisi-tradisi masyarakat pribumi yang merupakan warisan para leluhur mereka
yang masih berpegangteguh pada faham animisme dan dinamisme, dan pada awalnya
banyak kalangan dari anggota musyawarah yang mengharamkan dan menganggap
musyrik orang yang melakukan kegiatan ini, sehingga kegiatan semacam itu harus
dihilangkan dan sebagian lagi masih mempertahankan, karena masyarakat waktu itu
masih belum siap untuk meninggalkan warisan tradisi nenek moyang tersebut,
namun atas adanya perbedaan itu diambillah jalan tengah dengan mempertahankan
kegiatan tersebut dengan pertimbangan supaya masyarakat tidak lari dari Islam
yang kala itu baru mereka anut, hanya saja warna kegiatan itu atau tekhnis
kegiatannya diganti dengan ala Islam, maka lahirlah tahlill, istighotsah dan
bentuk kearifan-kearifan lainnya, hal ini menunjukkan betapa hebatnya sebuah
perbedaan, mulai dari perbedaan pendapat sampai perbedaan etnis ketika
ditanggapi positif. Namun, lain dari hal itu kita akan dihadapkan
masalah-masalah klasik (tidak asing bagi kita) ketika sebuah perbedaan itu
ditanggapi sebagai hal yang negatif tidak hanya harta yang menjadi taruhannya,
nyawapun akan melayang seperti yang dialami suku (maaf) Madura dan Dayak yang
hanya dilatarbelakangi pertikaian beberapa gelintir orang sampai membawa atas
nama etnis, maka menjadi tugas kita bersama (Bangsa dan Negara) dalam menjaga
perbedaan tidak menjadi sebuah pertikaian, namun menjadi sebuah kekuatan bagi
bangsa dan Negara seperti ketika bangsa ini merebut kemerdekaan dari penjajah.
Kemajemukan Sebagai Identitas
Negara
Sebagaimana pemaparan di atas, bahwa Indonesia dibangun
dari beberapa agama, budaya dan suku bangsa dan bahasa (kurang lebih 360 suku
bangsa dan bahasa yang ada di Indonesia), bahkan kemerdekaan bangsa tidak lepas
dari (salah satunya) kemajemukan bangsa yang mempunyai satu ide dalam berjuang,
maka tidak diragukan lagi, bahwa kemajemukan merupakan sebuah keniscayaan yang
tidak terbantahkan.
Sebagai Negara yang mempunyai nilai pluralitas yang
tinggi dengan adanya berbagai suku bangsa, agama, dan lain sebagainya dibanding
Negara- Negara lainnya, Indonesia (bangsa) tidak boleh berbangga diri karena
hal itu menjadi kekuatan tersendiri bagi Negara sebagaimana yang telah
dibuktikan oleh para pejuang kemerdekaan, padahal di lain pihak, dengan perbedaan-perbedaan
tersebut bangsa ini mempunyai sifat fanatis terhadap suku dan agama
masing-masing yang itu memberi dorongan akan timbulnya konflik, juga dalam hal
budaya, bangsa ini merupaka negara yang kaya akan budaya warisan para leluhur
yang hal itu akan berdampak bagi generasinya mempunyai dua sikap dalam
menghadapi budaya warisan leluhurnya, yakni, pertama, sikap fanatis
terhadap budaya yang mengakibatkan rawannya konflik antar etnis, agama dan lain
sebagainya dan terlena akan budaya yang telah ada yang akhirnya menjadikan
bangsa ini malas untuk memunculkan budaya-budaya yang baru, padahal bangsa ini
sangat berpotensi untuk menciptakan budaya-budaya baru sebagaimana yang
dilakukan oleh generasi sebelumnya, kedua,
sikap acuh terhadap budaya dalam
negeri yang mengakibatkan hilanganya jiwa nasionalisme hanya karena merasa
gengsi mengakui budaya negeri sendiri, dan mungkin ini salah satu alasan
mengapa sebagian budaya-budaya kita diakui oleh negara lain? Sekedar contoh
dalam hal ini adalah maraknya gaya hidup barat (west) bukan cuma pakaian,
musik—lebih banyak mana pemuda Indonesia yang menyukai musik tradisional
seperti dangdut dengan yang menyukai musik yang dibawakan oleh Justin Bieber?—dalam
berbahasa-pun seseorang akan dianggap kaum intelektual apabila memakai bahasa
barat (inggris)—sekedar renungan; berapa banyak generasi bangsa (pemuda Jawa)
yang mengenal tulisan jawa?—maka sudah menjadi tanggungjawab bangsa
(masyarakat) dan Negara (pemerintah) untuk memberikan penyadaran bagi masyarakat,
khususnya pemuda karena pemuda adalah pemimpin masa depan melalui pendidikan
dan kegiatan-kegiatan keagamaan (pada poin inilah bangsa ini sangat membutuhkan
lembaga keagamaan seperti pesantren yang mampu mengemban amanat keagamaan dan
kenegaraan demi terciptanya bangsa yang bertaqwa dan mempunyai jiwa
nasionalisme yang tinggi) juga secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi
munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa, dalam artian, dalam
menghadapi keberagaman budaya, Negara berupaya menjalin persatuan—Bhinneka
Tunggal Ika—dan bersikap toleran dalam perbedaan, urusan kemasyarakatan, dan
kebudayaan[1], karena
ketika tidak ada toleransi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut, maka
akan menjadi konflik berkepanjangan baik antar suku, etnis, maupun antar agama.
Sebuah Kemustahilan
Menghilangkan Kemajemukan dalam Negara
Setengah abad lebih bangsa ini hidup dalam sebuah Negara
yang berpancasila dan binheka tunggal ika yang menjadi dasar Negara kita,
tentunya kita sudah merasakan betapa pentingnya menjaga keharmonisan dengan
golongan (suku, agama, dan lain-lain) selain golongan kita, inilah Indonesia, hidup
berdampingan meskipun berbeda keyakinan dan suku menjadi nilai positif
tersendiri bagi sang empunya Negara.
Tentunya kita pernah mendengar di berita-berita lewat
media, baik cetak maupun elektronik tentang kejadian-kejadian anarkis yang
dilakukan oleh sekelompok yang mengatas-namakan diri pembela Islam, begitu juga
berita yang mengejutkan dari pulau dewata yang merupakan aset bangsa yang dibom
beberapa tahun lalu, ada lagi pemboman hotel, gereja dan banyak lagi kasus
pem-bom-an yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan dalih membunuh orang
kafir demi membela agama, bahkan tidak jarang bom bunuh diri dilakukan dengan
alasan mendapat iming-iming mati
syahid yang menjanjikan syurga, hal tiu sekedar contoh sebagian kelompok atau
golongan yang ingin menghilangkan kemajemukan yang sudah menjadi identitas
Negara dengan melenyapkan orang atau golongan yang tidak seagama, dalam artian
perbedaan agama sekaligus kebebasan dalam memeluk suatu agama yang sudah
menjadi ciri khas bangsa Indonesia akan dihilangkan yakni dengan jalan
men-seragamkan agama yang ada di Indonesia dengan satu nama, yakni Islam, itu
hal yang mustahil dan tidak mempunyai dasar apapun.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk memberi kebebasan bagi
bangsa untuk memeluk agama yang mereka yakini, dalam piagam madinah tertulis “inna al-yahuda wa an-nashara wa al-ladzina
amanuw hum ikhwatun fala ‘udwana illa ‘ala adz-dzalimin” (Ibnu Hisyam dalam
kitab Sirah Nabawiyah) yang berarti
bahwa nilai pluralitas dan kebebasan beragama dalam suatu Negara sangat dijunjung
tinggi oleh Nabinda Muhammad SAW, dan beliau menegaskan, bahwa musuh kita bukan
yahudi, nashrani atau sesama Islam karena agamanya, tapi karena kedzalimannyalah
maka seseorang itu menjadi musuh bersama, tidak kalah menariknya firman Tuhan
dalam Al-Qur’an Surat Al-baqarah ayat 256 yang berbunyi ”La ikraha fi ad-din qad tabyyana ar-rusydu mina al-ghay” yang dalam
ayat ini Tuhan menjelaskan tidak ada paksaan bagi manusia untuk memeluk suatu
agama, dalam artian Tuhan tidak memaksa manusia dalam memeluk suatu agama untuk
diyakini, kemudian kenapa manusia memaksa manusia lain untuk memeluk suatu agama,
padahal kebasan beragama dilindungi oleh Tuhan? Maka pemaksaan-pemaksaan
semacam itu hanya akan menghancurkan keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia ..
Penutup
Dalam hidup berbangsa dan bernegara setidaknya dalam
diri kita terdapat tiga mandate atau
tugas yang harus kita laksanakan, yakni, pertama,
tugas keagamaan. Sebagai umat beragama
tentunya kita sudah diberi doktrin-doktrin, baik dari firman Tuhan maupun sabda
Nabi akhir zaman tentang kewajiban kita dalam mendekatkan diri kepada Tuhan,
karena itu yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan kita sebagai makhluq yang
diciptakan oleh Tuhan, kedua, tugas keintelektualan. Dalam hal ini
manusia yang dianugerahi akal oleh Tuhan, yang berfungsi untuk berfikir,
sedangkan dalam berfikir ada dua kekuatan dahsyat bernama arus jahat (necrophilia)
dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia)[2] yang
selalu memberikan bisikan dalam fikiran manusia, maka untuk membedakan antara
fikiran baik dan buruk diwajibkan bagi kita untuk mengasah keintektualan kita
dengan menuntut ilmu dan belajar, ketiga,
tugas kenegaraan. Dalam suatu
Negara, bukan hanya pemerintah atau aparatur Negara yang wajib menjaga
keamanan, kelestarian alam, kebersihan, dan lain sebagainya, tapi peran
masyarakat juga sangat dibutuhkan, bahkan dalam menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masyarakat berada garda terdepan, yakni
dengan mencintai serta menjaga kemudian melestarikan budaya-budaya Indonesia,
dan mampu hidup berdampingan dengan harmonis, meskipun berbeda agama, etnis
atau bahasa.
Semoga Bermanfa’at . . . !
Wallahul Muwaffieq Ila
Aqwamith Thariq
♠
Tidak ada komentar:
Posting Komentar