dropdown

Jumat, 05 Agustus 2016

MANUSIA BERCINTA; TUHAN TERTAWA


Oleh: Moch. Syamsul Arifin. Zrt

Latar Belakang
            Dalam pengantar filsafat Manusia dinamakan sebagai makhluq curiosius[1] (ingin tahu) atau makhluq berpengetahuan yang diciptkan oleh Tuhan yang dilengkapi dengan akal dan hati yang implementasinya menjadi sebuah fikiran dan perasaan dan keduanya juga menjadi driver bagi baik-buruknya manusia melangkah dan betujuan dalam hidup, tentunya tidak lepas dari pantauan dan kuasa Tuhan. Kalau kita membuka kembali lembaran sejarah awal terciptanya manusia yakni Adam, bahwa sebagimana yang tertera dalam surat al-baqarah, Adam yang tercipta dalam Syurga diberikan pengetahuan oleh Tuhan tentang nama-nama ciptaan-Nya. Dan dalam kesendiriannya, Adam termenung sembari dalam benaknya mengidam-idamkan sang pendamping hidup yang kemudian tercipta-lah Hawa. Sifat-sifat (fikiran dan perasaan) Adam ini-lah yang kemudian secara turun-temurun menjadi karakteristik tersendiri bagi Manusia dan menjadi pembeda dengan beberapa makhluq lainnya. Oleh karena itu, dalam hal ini, manusia akan melakukan apapun demi tercapainya sebuah pengetahuan dan memperoleh ketentraman dalam berperasaan (red. cinta).
Dari uraian di atas penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang perasaan khususnya cinta dan segala efeknya (suka-duka dan baik-buruk cinta), namun salah satu metode untuk memperoleh pengetahuan yaitu metode empiris (empirical method), maka penulis melakukan beberapa pengamatan tentang perasaan, mulai dari pengamatan eksternal yakni mengamati beberapa pasangan asmara_kekasih, sampai pengamatan internal yakni pengamatan yang berdasarkan pengalaman pribadi, baik yang merupakan rekayasa yang terorganisir maupun pengalaman murni yang tanpa adanya rekayasa dan tidak terorganisir, demi validitas ide dalam tulisan ini.
Dalam tekhnik penulisan baik dari segi isi maupun bahasa yang penulis sajikan tidak ada keterikatan (yang bebas tanpa adanya footnote, endnote, dan daftar pustaka, meskipun sebagian dari isi tulisan merupakan kutipan dari beberapa buku) dalam artian dalam tulisan ini sekedar penyampai dan berbagi ide atau gagasan dan pengalaman kepada pembaca. Dan dengan tulisan ini juga, penulis menyampaikan terimakasih atas sumbangsih pemikiran kepada pihak-pihak terkait dan sekaligus minta ma’af kepada pihak-pihak yang menjadi objek pengamatan yang tanpa izin yang disebabkan beberapa kendala yang tidak memungkinkan untuk mengkonfirmasi atau meminta izin kepada pihak-pihak yang penulis jadikan objek pengamatan. Penulis juga minta ma’af kepada para pembaca, jurnalis, ahli bahasa dan pecinta pengetahuan atas kekurangan baik dari segi isi, maupun dari segi bahasa yang penulis sampaikan.

Manusia Makhluq Berperasaan
            Sebelum kita membahas lebih jauh tentang cinta, perlu penulis jelaskan, bahwa kata cinta yang terdapat dalam tulisan ini dimaksudkan dan dikhususkan terhadap cinta kepada lain jenis (red, Jatuh-cinta) dan berikut dampak positif dan negatifnya.
Dalam kajian filsafat dan logika, memang sulit atau bahkan hampir mustahil untuk mendefinisikan secara objektif sebuah kata cinta yang merupakan bagian psikologis dari manusia yang tidak terlihat kecuali gejala-gejala yang ditampakkan oleh sikap dan prilaku yang mengalaminya. Sepanjang sejarah manusia, telah banyak kalangan mulai dari pujangga, penyair, pengarang lagu, jurnalis, sampai para pemuda yang kasmaran, yang mencoba mendefinisikan kata cinta, tapi semua yang mereka ungkapkan hanya-lah sekedar kata hati dan fikiran yang subjektif yang mereka temukan dari pengalaman mereka, namun meskipun mustahil didefinisikan secara subjektif, bukan berarti cinta tidak bisa difikir dan diungkapkan dengan bahasa baik verbal maupun non verbal.
Dalam hal ini, penulis mencoba mendefinisikan arti cinta sebagai bagian dari psikologis manusia dengan alasan-alasan tertentu dan dengan tujuan-tujuan tertentu pula, baik diketahui atau tidak, namun, meskipun manusia merasakan cinta, suka dan duka dialami oleh manusia, tapi cinta dengan segala efeknya tidak datang dan pergi begitu saja, ada Sang Causa Prima mengadakan dan mengatur itu semua, oleh karena itu ketika manusia berfikir “mengapa cinta itu ada atau tidak ada dalam dirinya?, mengapa manusia mengalami suka dan duka dalam bercinta?, mengapa cinta mendatangkan sejuta rasa; gelisah, rindu, cemburu yang mendatangkan keraguan (percaya atau tidak percaya)? Dan lain-lain” maka Tuhan-pun tertawa, karena pada hakikatnya Tuhan-lah yang mengatur itu semua, dan Tuhan Maha tahu terhadap semua yang dialami oleh manusia.

Cinta dan Kegiatannya
            Dalam bercinta memang banyak hal-hal baru yang ditemui oleh manusia, ketika manusia jatuh-cinta, akan melakukan apapun demi mendapatkan atau mempertahankan cintanya, bahkan tidak jarang seseorang membawa nama Tuhan, membacakan suatu dalil al-qur’an atau hadits dengan tujuan cintanya diterima yang mungkin itu menjadi langkah ampuh bagi sniper cinta. Dalam pengamatannya penulis menemukan beberapa tahapan yang bersifat hierarkis yang dilakukan oleh sniper dalam mengejar cintanya, yakni: Tahap pengenalan, pada tahap ini sniper mencari informasi lebih detail tentang sasaran, mulai dari nama, alamat, nomer yang bisa dihubungi, sampai kehidupan pribadinya. Tahap pengungkapan, dalam tahap ini sniper mengungkapkan isi hatinya kepada sasaran, dan tentunya dengan basa-basi, bahasa dan rayua-rayuan yang lontarkan. Tahap penguatan, pada kegiatan inilah sniper menyatakan ketulusan cintanya dan pada tahap ini sniper memberi keyakinan akan ketulusan cintanya dengan membawa nama Tuhan, membacakan suatu dalil al-qur’an atau hadits dengan tujuan cintanya diterima. Tahap pembujukan, pada tahap ini, sniper menceritakan kepada sasaran tentang yang dialami dalam kehidupannya (meskipun dusta)  semenjak cintanya bertepuk sebelah tangan, tentunya dengan raut muka dan ekspresi yang menunjukkan kesedihan. Kemudian yang terakhir Tahap kepasrahan dan pengalihan, pada tahap ini, sniper hanya bisa merenungi dirinya sendiri dan mungkin mencoba untuk melupakan sasaran yang dia cintai, kalau dia mampu untuk melupakannya, secepat mungkin dia mencari sasaran berikutnya atau dia pasrah dalam hidup sendiri tanpa adanya pasangan.
Dalam menanggapi cinta seorang sniper, sang objek-pun (orang yang dicintai) mempunyai langkah-langkah dalam menerima atau menolak cinta. Dalam hal ini sang objek melakukan regresi atau penyelamatan diri, dalam artian alam menolak atau memutus hubungan cinta dengan seseorang menggunakan bahasa-bahasa yang lembut (meskipun dusta) yang ketika itu diungkapkan seakan-akan dia tidak bersalah kepada sniper atau pasangannya atas segala keputusan yang dia berikan, bahkan tidak jarang seseorang memutus hubungan dengan mengatakan “aku tidak tahu” padahal sesuatu yang membuat dia cinta pada pasangannya telah tiada atau mungkin karena sudah bosan terhadap pasangan.
Memang dalam bercinta sulit sekali sebuah kejujuran diterapkan, hal itu dikarenakan sepasang kekasih, atau orang yang mencintai dan yang dicintai mempunyai tujuan berbeda dalam menanggapi sebuah cinta, hal ini tidak bisa kita nafikan dan tidak perlu kita pandang sebelah mata, bukan berarti penulis membenarkan atau mengharapkan ketidak-jujuran itu meraja-lela dalam kehidupan bercinta, namun itu merupakan realitas yang harus kita terima apa adanya, oleh karena itu Kevin Hogan dalam bukunya Psikologi Persuasi menyarankan untuk berhati-hati dalam menanggapi sebuah ucapan, dan untuk tidak terlalu mempercayai sepenuhnya kepada orang lain, karena tiap orang mempunyai logiknya masing-masing dan memiliki orientasi atau tujuan hidup yang tidak sama dengan orang lain.  

Cinta dan Segala Efeknya Menjadi Spirit Bagi Manusia
            Dalam kehidupan manusia, memang penuh dengan lika-liku dan perjalanan hidup yang diwarnai dengan rasa, prilaku, dan fikiran yang bermacam-macam dan dengan itu juga, manusia mengalami suka dan duka dalam hidup. Cinta merupakan bagian dari yang dialami oleh manusia dalam hidup, oleh karena itu harus disadari, bahwa mulai dari suka dan duka, baik dan buruk, susah dan senang, sampai pada patah hati itu merupakan suatu hal yang wajar yang dialami dan tidak bisa dielakkan kehadirannya dalam kehidupan manusia, namun setidaknya semua  itu menjadi spirit untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
            “La in syakartum laaziydannakum wala in kafartum inna ‘adzabiy lasyadiyd”, mungkin ayat ini bisa kita jadikan pedoman ketika kita mengalami bahagia dalam bercinta, betapa bahagianya kita ketika cinta kita diterima, dan pasangan kita adalah orang yang konsisten yang bisa dipertaruhkan kesetiannya, itu merupakan salah satu nikmat Tuhan yang harus disyukuri dan dijaga kesuciannya dari hal-hal yang dilarang oleh Tuhan. Di lain surat dalam al-qur’an juga ada ayat “La tahzan inna Allaha ma’ana” yang bisa kita tanamkan dalam hati dan menjadi refrensi hati kita ketika mengalami duka dalam bercinta, mungkin kita tidak bisa membayangkan betapa sakitnya hati kita, ketika cinta kita bertepuk sebelah tangan atau ketika pasangan kita meminta hubungan kita putus tanpa adanya alasan dan argument yang rasional, namun itu hanyalah sekedar cobaan, ujian, atau pengingat bagi kita yang menjadi keharusan untuk mengintropeksi diri dan harus dikembalikan kepada Yang Maha Kuasa.
            Kedua pengalaman tersebut walaupun berlawanan setidaknya menjadikan spirit bagi kita untuk lebih kreatif dalam hidup dan lebih sadar akan lemahnya fikiran dan perasaan kita, dan menjadi penguat keyakinan kita terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan.
            Akhir dari penyampaian ini penulis berdo’a kepada Tuhan agar kita dijauhkan dari mara-bahaya cinta dan cinta dengan segala akibatnya menjadikan kita hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Amin.

Mudah-mudahan bermanfa’at . . . !
Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamith Tharieq
Sumberpucung, 14 Juli 2010





[1]     Daniel, Bengkel Ilmu Filsafat, hlm. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman