Oleh: Moch. Syamsul Arifin. Zrt
Latar
Belakang
Dalam pengantar filsafat Manusia dinamakan sebagai makhluq
curiosius[1]
(ingin tahu) atau makhluq berpengetahuan yang diciptkan oleh Tuhan yang
dilengkapi dengan akal dan hati yang implementasinya menjadi sebuah fikiran dan
perasaan dan keduanya juga menjadi driver
bagi baik-buruknya manusia melangkah dan betujuan dalam hidup, tentunya
tidak lepas dari pantauan dan kuasa Tuhan. Kalau kita membuka kembali lembaran
sejarah awal terciptanya manusia yakni Adam, bahwa sebagimana yang tertera
dalam surat
al-baqarah, Adam yang tercipta dalam Syurga diberikan pengetahuan oleh Tuhan
tentang nama-nama ciptaan-Nya. Dan dalam kesendiriannya, Adam termenung sembari
dalam benaknya mengidam-idamkan sang pendamping hidup yang kemudian
tercipta-lah Hawa. Sifat-sifat (fikiran dan perasaan) Adam ini-lah yang
kemudian secara turun-temurun menjadi karakteristik tersendiri bagi Manusia dan
menjadi pembeda dengan beberapa makhluq lainnya. Oleh karena itu, dalam hal
ini, manusia akan melakukan apapun demi tercapainya sebuah pengetahuan dan
memperoleh ketentraman dalam berperasaan (red.
cinta).
Dari uraian di atas
penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang perasaan khususnya
cinta dan segala efeknya (suka-duka dan baik-buruk cinta), namun salah satu
metode untuk memperoleh pengetahuan yaitu metode empiris (empirical method), maka penulis melakukan beberapa pengamatan
tentang perasaan, mulai dari pengamatan eksternal yakni mengamati beberapa
pasangan asmara_kekasih, sampai pengamatan internal yakni pengamatan yang
berdasarkan pengalaman pribadi, baik yang merupakan rekayasa yang terorganisir
maupun pengalaman murni yang tanpa adanya rekayasa dan tidak terorganisir, demi
validitas ide dalam tulisan ini.
Dalam tekhnik penulisan
baik dari segi isi maupun bahasa yang penulis sajikan tidak ada keterikatan
(yang bebas tanpa adanya footnote, endnote, dan daftar pustaka, meskipun
sebagian dari isi tulisan merupakan kutipan dari beberapa buku) dalam artian
dalam tulisan ini sekedar penyampai dan berbagi ide atau gagasan dan pengalaman
kepada pembaca. Dan dengan tulisan ini juga, penulis menyampaikan terimakasih
atas sumbangsih pemikiran kepada pihak-pihak terkait dan sekaligus minta ma’af
kepada pihak-pihak yang menjadi objek pengamatan yang tanpa izin yang
disebabkan beberapa kendala yang tidak memungkinkan untuk mengkonfirmasi atau
meminta izin kepada pihak-pihak yang penulis jadikan objek pengamatan. Penulis
juga minta ma’af kepada para pembaca, jurnalis, ahli bahasa dan pecinta
pengetahuan atas kekurangan baik dari segi isi, maupun dari segi bahasa yang
penulis sampaikan.
Manusia
Makhluq Berperasaan
Sebelum kita
membahas lebih jauh tentang cinta, perlu penulis jelaskan, bahwa kata cinta
yang terdapat dalam tulisan ini dimaksudkan dan dikhususkan terhadap cinta
kepada lain jenis (red, Jatuh-cinta)
dan berikut dampak positif dan negatifnya.
Dalam kajian filsafat
dan logika, memang sulit atau bahkan hampir mustahil untuk mendefinisikan
secara objektif sebuah kata cinta yang merupakan bagian psikologis dari manusia
yang tidak terlihat kecuali gejala-gejala yang ditampakkan oleh sikap dan prilaku
yang mengalaminya. Sepanjang sejarah manusia, telah banyak kalangan mulai dari
pujangga, penyair, pengarang lagu, jurnalis, sampai para pemuda yang kasmaran,
yang mencoba mendefinisikan kata cinta, tapi semua yang mereka ungkapkan
hanya-lah sekedar kata hati dan fikiran yang subjektif yang mereka temukan dari
pengalaman mereka, namun meskipun mustahil didefinisikan secara subjektif,
bukan berarti cinta tidak bisa difikir dan diungkapkan dengan bahasa baik
verbal maupun non verbal.
Dalam hal ini, penulis
mencoba mendefinisikan arti cinta sebagai bagian dari psikologis manusia dengan
alasan-alasan tertentu dan dengan tujuan-tujuan tertentu pula, baik diketahui
atau tidak, namun, meskipun manusia merasakan cinta, suka dan duka dialami oleh
manusia, tapi cinta dengan segala efeknya tidak datang dan pergi begitu saja,
ada Sang Causa Prima mengadakan dan mengatur itu semua, oleh karena itu ketika
manusia berfikir “mengapa cinta itu ada atau tidak ada dalam dirinya?, mengapa
manusia mengalami suka dan duka dalam bercinta?, mengapa cinta mendatangkan
sejuta rasa; gelisah, rindu, cemburu yang mendatangkan keraguan (percaya atau
tidak percaya)? Dan lain-lain” maka Tuhan-pun tertawa, karena pada hakikatnya
Tuhan-lah yang mengatur itu semua, dan Tuhan Maha tahu terhadap semua yang
dialami oleh manusia.
Cinta dan Kegiatannya
Dalam bercinta memang banyak hal-hal baru yang ditemui
oleh manusia, ketika manusia jatuh-cinta, akan melakukan apapun demi
mendapatkan atau mempertahankan cintanya, bahkan tidak jarang seseorang membawa nama Tuhan, membacakan
suatu dalil al-qur’an atau hadits dengan tujuan cintanya diterima yang mungkin
itu menjadi langkah ampuh bagi sniper cinta.
Dalam pengamatannya penulis menemukan beberapa tahapan yang bersifat hierarkis
yang dilakukan oleh sniper dalam
mengejar cintanya, yakni: Tahap
pengenalan, pada tahap ini sniper
mencari informasi lebih detail tentang sasaran, mulai dari nama, alamat, nomer
yang bisa dihubungi, sampai kehidupan pribadinya. Tahap pengungkapan, dalam tahap ini sniper mengungkapkan isi hatinya kepada sasaran, dan tentunya
dengan basa-basi, bahasa dan rayua-rayuan yang lontarkan. Tahap penguatan, pada
kegiatan inilah sniper menyatakan
ketulusan cintanya dan pada tahap ini sniper
memberi
keyakinan akan ketulusan cintanya dengan membawa nama Tuhan, membacakan suatu
dalil al-qur’an atau hadits dengan tujuan cintanya diterima. Tahap pembujukan, pada tahap ini, sniper menceritakan
kepada sasaran tentang yang dialami dalam kehidupannya (meskipun dusta) semenjak cintanya bertepuk sebelah tangan,
tentunya dengan raut muka dan ekspresi yang menunjukkan kesedihan. Kemudian
yang terakhir Tahap kepasrahan dan
pengalihan, pada tahap ini, sniper hanya bisa merenungi dirinya
sendiri dan mungkin mencoba untuk melupakan sasaran yang dia cintai, kalau dia
mampu untuk melupakannya, secepat mungkin dia mencari sasaran berikutnya atau
dia pasrah dalam hidup sendiri tanpa adanya pasangan.
Dalam menanggapi cinta seorang sniper,
sang objek-pun (orang yang dicintai) mempunyai langkah-langkah dalam
menerima atau menolak cinta. Dalam hal ini sang objek melakukan regresi atau penyelamatan diri, dalam
artian alam menolak atau memutus hubungan cinta dengan seseorang menggunakan
bahasa-bahasa yang lembut (meskipun dusta) yang ketika itu diungkapkan
seakan-akan dia tidak bersalah kepada sniper
atau pasangannya atas segala keputusan yang dia berikan, bahkan tidak
jarang seseorang memutus hubungan dengan mengatakan “aku tidak tahu” padahal
sesuatu yang membuat dia cinta pada pasangannya telah tiada atau mungkin karena
sudah bosan terhadap pasangan.
Memang dalam bercinta sulit sekali sebuah kejujuran diterapkan, hal itu
dikarenakan sepasang kekasih, atau orang yang mencintai dan yang dicintai
mempunyai tujuan berbeda dalam menanggapi sebuah cinta, hal ini tidak bisa kita
nafikan dan tidak perlu kita pandang sebelah mata, bukan berarti penulis
membenarkan atau mengharapkan ketidak-jujuran itu meraja-lela dalam kehidupan
bercinta, namun itu merupakan realitas yang harus kita terima apa adanya, oleh
karena itu Kevin Hogan dalam bukunya “Psikologi Persuasi” menyarankan untuk berhati-hati dalam
menanggapi sebuah ucapan, dan untuk tidak terlalu mempercayai sepenuhnya kepada
orang lain, karena tiap orang mempunyai logiknya masing-masing dan memiliki
orientasi atau tujuan
hidup yang tidak sama dengan orang lain.
Cinta
dan Segala Efeknya Menjadi Spirit Bagi Manusia
Dalam kehidupan
manusia, memang penuh dengan lika-liku dan perjalanan hidup yang diwarnai
dengan rasa, prilaku, dan fikiran yang bermacam-macam dan dengan itu juga,
manusia mengalami suka dan duka dalam hidup. Cinta merupakan bagian dari yang
dialami oleh manusia dalam hidup, oleh karena itu harus disadari, bahwa mulai
dari suka dan duka, baik dan buruk, susah dan senang, sampai pada patah hati
itu merupakan suatu hal yang wajar yang dialami dan tidak bisa dielakkan
kehadirannya dalam kehidupan manusia, namun setidaknya semua itu menjadi spirit untuk mendekatkan diri
pada Tuhan.
“La in syakartum laaziydannakum wala in
kafartum inna ‘adzabiy lasyadiyd”, mungkin ayat ini bisa kita jadikan
pedoman ketika kita mengalami bahagia dalam bercinta, betapa bahagianya kita
ketika cinta kita diterima, dan pasangan kita adalah orang yang konsisten yang
bisa dipertaruhkan kesetiannya, itu merupakan salah satu nikmat Tuhan yang
harus disyukuri dan dijaga kesuciannya dari hal-hal yang dilarang oleh Tuhan.
Di lain surat dalam al-qur’an juga ada ayat “La tahzan inna Allaha ma’ana” yang bisa kita tanamkan dalam hati
dan menjadi refrensi hati kita ketika mengalami duka dalam bercinta, mungkin
kita tidak bisa membayangkan betapa sakitnya hati kita, ketika cinta kita
bertepuk sebelah tangan atau ketika pasangan kita meminta hubungan kita putus
tanpa adanya alasan dan argument yang rasional, namun itu hanyalah sekedar
cobaan, ujian, atau pengingat bagi
kita yang menjadi keharusan untuk mengintropeksi diri dan harus dikembalikan
kepada Yang Maha Kuasa.
Kedua pengalaman tersebut walaupun
berlawanan setidaknya menjadikan spirit bagi kita untuk lebih kreatif dalam
hidup dan lebih sadar akan lemahnya fikiran dan perasaan kita, dan menjadi
penguat keyakinan kita terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan.
Akhir dari penyampaian ini penulis
berdo’a kepada Tuhan agar kita dijauhkan dari mara-bahaya cinta dan cinta
dengan segala akibatnya menjadikan kita hidup yang lebih baik di masa yang akan
datang. Amin.
Mudah-mudahan
bermanfa’at . . . !
Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamith Tharieq
Sumberpucung,
14 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar