dropdown

Senin, 07 November 2016

LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Oleh: Moch. Syamsul Arifin, Zrt

“Manusia tidak terpisahkan dengan pendidikan
 bagaikan jiwa yang tidak terpisahkan dengan raga”
(Suparlan Suhartono: 2004)

Latar Belakang
Manusia meruapakan makhluq yang oleh Tuhan diciptakan untuk mengelola Bumi atau alam[1] dan (sebenarnya) menjadi penakluk alam, namun dalam diri manusia terdapat dua unsure, dua kekuatan dahsyat bernama arus jahat (necrophilia) dan arus baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia)[2] yang keduanya—berada dalam kejiwaan manusia—saling bertentangan dalam menanggapi realitas kehidupan dan mendorong manusia untuk memunculkan sebuah perbuatan, oleh karenanya untuk menjaga jiwa dalam mengaplikasikan perbuatan, maka manusia perlu pendidikan dan harus berkecimpung dalam dunia pendidikan baik sebagai pendidik maupun yang dididik—dan kemudian disebut makhluk berpendidikan—di manapun dia berada, karena memang Tujuan terbesar dalam pendidikan bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan (Herbert Spencer)[3] yang tidak lepas dari keterpengaruhan lingkungan.
Pendidikan memang berpengaruh terhadap prilaku manusia, namun, pendidikan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang itu dibentuk oleh perilaku atau perbuatan manusia, oleh karenanya kita harus mengetahui sesuatu yang mempengaruhi pendidikan yakni lingkungan.
Definisi Dan Fungsi
            Pendidikan—yang dalam bahasa Inggris education dan berakar dari latin educare, yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth) dan terminology tersebut jika diperluas mencerminkan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi—merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri[4]. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. (UUD 1945 tentang sistem pendidikan nasional tahun 2003)[5], oleh karena itu, kegiatan pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja dan dilakukan oleh siapa saja, karena usaha untuk melakukan sebuah pendewasaan, pencerdasan dan pematangan—yang ketiganya sebenarnya bersifat metafisis[6]—merupakan hak asasi manusia.
            Lingkungan sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari dunia—unsur pendidikan baik manusia ataupun non manusia—pendidikan, merupakan factor yang mempunyai peranan besar dalam tercapainya tujuan pendidikan, sebenarnya lingkungan—dalam arti luasnya—mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam dengan kata lain lingkungan adalah sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang, baik berupa manusia ataupun benda[7] jika dikaitkan dengan pendidikan, lingkungan merupakan alam sekitar yang ditemui atau dialami oleh anak didik yang turut mendukung dalam tercapainya sebuah tujuan pendidikan (sebagaimana yang tercantum dalam makalah kelompok tiga hal. 5) dan itu menjadi final oriented bagi terselenggaranya proses pendidikan.
            Sebagaimana uraian di atas (tentang definisi lingkungan pendidikan), tidak diragukan lagi, bahwa fungsi lingkungan pendidikan bagi anak didik atau bahkan pendidik menjadi nilai plus—pendukung—bagi tercapainya tujuan dalam proses pendidikan, namun sebagaimana yang diungkapkan oleh John Lock (1632-1704)[8], bahwa realitas (red: lingkungan) adalah “tabularasa”, bagaikan kertas putih dan manusia yang mengisi kertas tersebut baik buruknya tergantung metodhe atau sesuatu yang diisikan.
Tripusat Pendidikan
            Lingkungan pendidikan—sebagaimana definisi dan fungsi di atas—memiliki beberapa bagian atau pos-pos penting—tiga komponen—yang jadi acuan dalam proses keberpengaruhan terhadap dunia pendidikan yang melekat dengan anak didik di kehidupan sehari-hari yang kita kenal dengan tri pusat pendidikan. Adalah sosok Ki Hajar Dewantara seorang pemikir pendidikan warga Indonesia yang memperkenalkan istilah tripusat pendidikan—yang arti etimologisnya tiga pusat pendidikan—yang dalam terminology praksisnya mencakup lembaga sekolah (baik formal ataupun non formal) yang merupakan institusi atau lembaga tempat berlangsungnya belajar-mengajar, yang teroerganisir, keluarga yang merupakan pendidikan pertama bagi anak didik yang dilakukan oleh orang tua, bahkan sebelum anak itu lahir (Heriditas) dan masyarakat yang menjadi central of value, karena merupakan intraksi anak didik dengan semua kalangan. Dan semuanya (sekolah, keluarga, dan masyarakat) menjadi pendukung dalam terselenggaranya dalam mencapai tujuan pendidikan atau lebih tepatnya ketiganya menjadi pusat dalam terselenggaranya sebuah pendidikan.
Pengaruh Timbal Balik Antara Tripusat Pendidikan Terhadap Perkembangan Anak Didik
Sebagaimana uraian dalam latarbelakang, bahwa manusia (red: anak didik) tidak terpisahkan dengan pendidikan dan dalam manusia terdapat dua kuatan yang disebut necrophilia dan biophilia—keduanya merupakan implementasi dari perkembangan anak didik—yang keduanya dapat dipengaruhi.
            Berbicara tentang pengaruh apalagi di dunia pendidikan tidak lepas dari nilai kuantitas—contoh biasanya tercantum dalam judul skripsi—yang bisa dibuktikan dengan angka, namun dalam makalah ini, penulis menyajikan perkembangan anak didik yang dipengaruhi oleh tripusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) tanpa melalui penelitian, karena keterbatasan penulis.
            Setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi perkembangan anak didik (kalu ditari ke teori perkembangan yaitu: empisme, nativisme, dan konvergensi), pertama, heriditas yang merupakan keterpengaruhan anak didik yang disebabkan keturunan (factor geneotik), kedua lingkungan (baca: tripusat pendidikan) yakni segala sesuatu yang ada pada sekitar anak didik hidup baik kongkrit maupun abstrak[9]. Namun, keterpengaruhannya itu disesuaikan dengan fase anak didik.
            Tripusat selain mempengaruhi perkembangan anak didik, juga mempunyai hubungan kausalitas yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi eksistensinya dalam kehidupan, dengan artian perkembangan anak didik, juga mempengaruhi eksistensi sekolah dalam kiprah pendidikannya di mata public, derajat (stratifikasi sosial) keluarga, dan nilai social masyarakat tempat anak didik tinggal.
            Namun, seberapa besar-pun pengaruh sekolah, keluarga, dan masyarakat (yang menjadi pusat berlangsungnya pendidikan) terhadap perkembangan anak didik, semua itu sekedar pengaruh yang bukan menjadi pemeran utama dalam mencapai kesuksesan atau perkembangan anak didik, dan yang paling utama adalah pribadi anak didik dalam ketekunannya mendidik diri sendiri. (eM. Sya.Z)
ABSTRAKSI
Di tengah keramaian alun-alun kota ada dua remaja yang duduk di taman alun-alun keduanya adalah Tukiman dan Legina yang keduanya mahasiswa Tarbiyah STAI Raden Rahmat mereka teman kuliyah seangkatan. Sambil memandangi keindahan kota mereka berbincang-bincang mulai seputar tentang matakuliyah, dosen, sampai pribadi mereka masing-masing, tak lama kemudian terlepas ucapan dari mulut Tukiman setelah menghembuskan asap rokok “Legina…!” Legina-pun dengan reflex menjawab “ya mas…!” kembali Tukiman melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong oleh sahutan Legina “sebenarnya semenjak aku mengenalmu aku menyukaimu, maukah kamu jadi pacarku? ”  Legina tercengang sejenak kemudian berkata”ow ya? Sejak berapa lama?” Tukiman kembali berucap “sejak aku kenal kamu ya kira-kira tiga bulan yang lalu-lah” giliran Legina berkata “Em…memang kenapa sih kamu jadi suka ama aku?” Tukiman tak kekurangan akal dengan nada merayu, dia-pun menjawab “akupun tak mengerti, namun setiap aku melihatmu tersenyum di siang hari, pada malam harinya aku tak bisa tidur memikirkan kamu seorang” Legina tersipu malu dengan senyumnya yang manis dank has, kemudian dia berkata “memang tak ada cewek lain yang lebih baik dariku?” dengan hati jengkel dan nada membujuk Tukiman berkata “Please Legina…! Aku butuh jawabanmu bukan pertanyaanmu” . . . .selanjutnya . . . . ?

Bagaimana komentar anda sebagai calon guru atau dosen . . . ?
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Kepanjen, 26 November 2010



[1] Lih. QS. Al-baqarah[002]: 30
[2] Munawwir Yamin, Memanusiakan Manusia, hal. 52
[3] Kevin Hogan, “The Psychology of Persuasiaon”, (alih bahasa Anton Adiwiyoto), hal,25.
[4] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan hal. 77-78
[5] Muhibbin Syah ,Psikologi Pendidikan, hlm. 1
[6] Sebuah terminology filsafat yunani yang dianggap sebagai filsafat pertama oleh Aristoteles (384-322 SM) berasal dari kata metafisika yang berarti di balik fisik dengan kata lain suatu hal yang tidak nampak namun ada. Baca:Asmnoro Hadi, Filsafat Umum.hal 55
[7] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, hal.63
[8] Adalah seorang pemikir barat modern dengan teorinya Empirisme
[9] Lih. Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, hal. 32

Kamis, 18 Agustus 2016

RIWAYAT HIDUP

     Syamsul Arifin atau yang lebih lengkapnya dengan nama Moch. Syamsul Arifin Zrt adalah putera kedua dari pasangan Bapak Toyamin dan Ibu Atika dari dua bersaudara, lahir di Malang pada Minggu 14 Dzulhijjah 1403 atau 09 Agustus 1987, semasa balita menimba ilmu di pesantren “Mamba’ul Jadid” sembari sekolah di MI Sunan Giri Sumberjaya sampai lulus MTs di yayasan yang sama. Setelah itu menimba ilmu di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Ganjaran Gondanglegi dan sekaligus sekolah MA di pondok tersebut. Setelah lulus Aliyah pindah ke Bangkalan Madura tepatnya di Desa Katol Timur, nyantri untuk memperdalam ilmu agama sampai tahun 2007. Sepulang dari pulau garam tersebut, melanjutkan petualangan menimba ilmunya di Perguruan Tinggi STAI Raden Rahmat pada pertengahan tahun 2007 fakultas tarbiyah. Tidak cukup dengan tarbiyah, pada tahun 2010 berpetualang kembali di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) al-Farabi Kepanjen.
            Selain aktifitas akademik, dia juga aktif di beberapa organisasi seperti OSIS MA RU, dan IPNU PAC Gondanglegi. Semasa kuliyah juga aktif di intra kampus (BEM) sampai semester 7 dan ekstra kampus yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) 2012-2014, GEMASABA Kabupaten Malang dan MUI Kabupaten Malang.

Sekarang menekuni bisnis pulsa yang didanai oleh beberapa investor baik dalam ataupun luar negeri. Kritik dan saran bisa dialamatkan ke: muhammadsyamsul_arifin@ymail.com

Kearifan Lokal yang Me-Nasional dan Nasionalisme yang Berkearifan lokal


Oleh: Syamsul Arifin
Pendahuluan
Bumi Indonesia merupakan Negara (nation) yang mempunyai keragaman suku, etnis, bahasa, dan terdiri atas beribu pulau (yang munkin menjadi salah satu alasan dinamakan Indonesia yang berasal dari kata hindian nesos). Keragaman tersebut pada hakikatnya memberi identitas khusus serta menjadi modal dasar sebagai pengembangan budaya bangsa yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap suku bangsa juga memiliki hambatan budayaannya masing-masing, yang berbeda antara suku bangsa yang satu dengan yang lainnya, maka menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi hambatan-hambatan budaya masing- masing suku bangsa, dan secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa dalam artian, Negara dalam menghadapi keberagaman budaya, berupaya menjalin persatuan—Bhineka Tunggal Ika—dan bersikap toleran dalam perbedaan, urusan kemasyarakatan, dan kebudayaan[1], karena ketika tidak ada toleransi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut, maka akan menjadi konflik berkepanjangan abik antar suku, etnis, maupun antar agama.
Peran Kearifan Lokal dalam Tatanan Nasional
            Berbicara tentang kearifan lokal, maka kita akan diseret ke sebuah mainstream yang sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Pada sisi ini menjadi varian utama dalam membentuk apa yang dicitakan, yakni penciptaan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis—yang kemudian membentuk Negara demokrasi yang merupakan konsep (teknis) Negara “pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang disampaikan oleh Abraham Lincoln dalam pidato kenegaraan—karena masyarakat sudah terbisaa dengan perbedaan dan bersikap toleran terhadap adanya perbedaan tersebut dan di bangunnya asas kedemokrasian dalam sebuah pemerintahan itu dilatarbelakangi—salah satunya—keragaman.
            Kearifan lokal (Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang kita rasakan tidak lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di Islam ada Tahlil, para penjajah sangat ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan, acara maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang bersifat jam’iyah, karena melalui acara-acara tersebut selain pembacaan kalimah thayibah, juga musyawarah atau sekedar diskusi yang itu akan memunculkan ide-ide kemerdekaan (Hadiwijaya, 2010) atau jangan-jangan suatu kelompok yang mengatakan acara-acara tersebut sebagai bid’ah yang dihukumi haram, mereka adalah ‘antek’ penjajah?
Upaya Nasional dalam Menjaga Kearifan Lokal
Sebagaimana dalam pendahuluan di atas, bahwa merupakan tugas Negara—dalam hal ini yang paling terpenting adalah peran pemerintah—dalam menjaga keharmonisan masyarakat yang berkebudayaan yang beragam sehingga keragaman-keberagaman tersebut tidak menjadi alasan untuk menimbulkan perpecahan dalam suatu Negara dan dapat terjaga sekaligus dilestarikan sebagaimana mestinya.
Setidaknya ada beberapa upaya Negara dalam menjaga kearifan local, yakni salah satunya dengan membangun museum-museum dan melalui pendidikan, dalam artian, bagaimana pendidikan menjadikan kekuatan kebudayaan itu melalui kerifan lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami dinamisasi yang produktif.
Produktifitas kebudayaan yang dimaksudkan adalah transformasi kearifan lokal dalam kanca Internasional, hal ini memungkinkan jika ditopang oleh peran pendidikan dan aktor intelektualnya. Sehingga menjadi tindakan yang keliru kemudian memisahkan antara proses pendidikan dan kebudayaan, karena pada praktisnya pendidikan mempunyai tiga pilar dalam menjalankan kependidikan yakni, sekolah, keluarga dan masyarakat[2] yang ketiganya merupakan wilayah strategis dalam mengembangkan kebudayaan.
Yang Mulai Terlupakan dan terabaikan
Para intelektual dan para cendekiawan kita mulai melupakan—mungkin akibat pengaruh modernisasi—ke’arifan lokal yang dinilainya kuno banyak para pemuda Indonesia menganggap hal-hal yang mistis seperti keris, wiridan-wiridan, kejawen dan lain sebagainya sudah dianggap hal yang kurang atau bahkan tidak rasional, padahal sebelum Albert Einstein—seorang ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan yang katanya tak ada tandingannya sepanjang jaman termasuk karena teori "relativitas"-nya—belum lahir di dunia pengetahuan, kearifan kejawen sudah memberikan teori, tentang asas pertama alam, dengan ungkapan Ana Manuk Bango Buthak, Ngendog ing Ngenthak-ngenthak yakni sebelum dunia dan seisinya mengisi alam semesta ini, jagad masih berupa susunan tata surya yang kosong. di sana terdapat sekumpulan awan putih yang pijar dan berputar. Awan putih itu jika dilihat tampak seperti burung bangau putih polos. Sekumpulan awan itu memercikkan gumpalan-gumpalan putih kecil, seperti burung bangau yang bertelur dan telurnya tercerai berai, telur-telur itulah yang menjadi bumi, mars, yupiter, dan planet-planet yang lain, sedangkan inti dari gumpalan awan itu manjadi matahari (Hadiwijaya, 2010), itu salah satu contoh saja dari kearifan lokal yang ada di Indonesia yang serat dengan pengetahuan. Hal ini bisa kita lihat berapa persenkah para pelajar muda (jawa) yang bisa menulis dengan tulisan jawa atau bahkan hampir tidak ada?, padahal di tahun 2005 di Belanda sudah membuka fakultas ilmu jawa, mungkin ini menjadi bahan koreksi diri (muhasabah) bagi para pemuda Indonesia. Lebih ironisnya lagi Presiden Indonesia Sosilo Bambang Yudhoyono akan membubarkan Daerah Istemewa Yogyakarta serta menghapus system monarkhi yang menjadi salah satu pusat kearifan lokal di Indonesia.
Modernisasi Sebuah Ancaman dan Peluang
            Dalam sebuah pepatah arab (qawa’idul fiqhiyah) mengatakan “al-muhafadzatu ala qadimish shalih wal akhdu min jadidil ashlah”, bahwasanya tradisi—masuk di dalamnya kebudayaan—lama yang baik hendaknya dilestarikan serta mangambil tradisi modern yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang lazimnya difahami sebagai akal budi sedangkan akal adalah pemberian Tuhan yang tertinggi bagi manusia yang respon terhadap perubahan, maka tidaklah bersifat statis yang abai terhadap perubahan, tapi bersifat dinamis yang bisa berkembang sesuai perkembangan zaman.
            Modernisasi—secara bahasa berarti baru ata up todate yang kemudian muncul istilah westernisasiyang merupakan proses dari pembaharuan kebudayaan atau minimalmemberi inovasi terhadap kebudayan memang mempunyai dampak sekularisasi lebih-lebih di barat, bagi sebagian masyarakat, ilmu pengetahuan (sain) dan teknologi sudah meningkat posisinya seolah menjadi “agama” baru, sehingga banyak di antara mereka memper-Tuhan-kannya. Lebih jauh lagi di barat yang secular tidak sedikit masyarakat yang bergaya hidup terpengaruh dan dilandasi oleh hasil pemikiran filosuf abad 19, Frederick Nietzsche, bahwa trend “agam sain” ini memuncak pada filsafat “God is dead” (Tuhan telah mati)[3]. Na’udzubillah.
            Adanya dampak tersebut yang disebabkan arus modernisasi dimungkinan tidak adanya respon positif dalam menyikapinya, buktinya, ketika hal itu disikapi positif maka akan menjadi suatu inovasi budaya yang akan menjadikan kebudayaan itu tidak punah contoh, bagaimana nasib kesenian wayang jika tidak diperbarui (dimodernisasi) menjadi wayang kulit oleh Ust. Raden Syahid atau Sunan Kalijaga yang sebelumnya berupa wayang orang (boneka yang mirip dengan manusia)? padahal para wali saat itu memberikan fatwa haram karena kemiripannya dengan rupa manusia dan bagimana pula nasib tradisi kenduren, mitungdinane, dan  patangpuluh dina jika para wali sanga tidak memasukan (inovasi) unsure keIslaman di dalamnya, dan banyak contoh-contoh lain yang merupakan manfa’at dari modernisasi.
Sebuah Catatan
            Indonesia yang kaya akan kebudayaan tidak akan bisa mandiri jikalau masyarakat—lebih-lebih pemuda—kurang menghargai kebudayaan dan kearifan lokal yang ada, bahkan mereka menganggap kuno sesuatu yang berharga itu, selain itu peran pemerintah kurang memperhatikan akan kelestarian kebudayaan, bahkan cendrung untuk (seakan-seakan) “menghilangkannya”. Padahal keragaman budaya, kearifan lokal, ragam seni, suku, dan keragaman yang lain menjadi ciri khas Negara yang ketika ciri khas itu dihilangkan, maka akan mudah bagi bangsa luar untuk mengambil kekayaan-kekayaan Negara dan secara diam-diam penjajahan model baru (neokolonialisme) bertandang di Indonesia yang memang dipersiapkan secara matang oleh kekuatan di luar Indonesia sejak lahir tahun 1950-an, dan di Bantu oleh orang Indonesia sendiri, dengan apa yang yang disebut sebagai kelompok ekonom Mafia Berkeley atau Mafia Orde Baru (Dr. Rizal Ramli). Ironis memang keadaan Negara kita, mungkin banyaknya TKW/TKI yang mengabdi di luar negri demi mendapat sesuap emas, penyebab salah satunya adanya neokolonialisme.





Daftar Pustaka
Hadiwijaya, 2010, Tokoh-Tokoh Kejawen; Ajaran dan Pengaruhnya, EULE BOOK, Yokyakarta
Suhartono, Suparlan, 2009 Filsafat Pendidikan, Jokjakarta; Ar-Ruz Media
Jauharudin, Adien, 2008. Aswaja Manhajul harakah, Jakarta; PMPI
Aziz, Qadri, 2004, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR




[1]       Yang menjadi bagian dari sikap kemasyarakatan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama’, lihat Adien Jauharudin “Aswaja Manhajul harakah (Methodologi Bergerak)”, hal. 98
[2]       Dalam kajian kependidikan dikenal erti sempit pendidikan, arti luas pendidikan dan arti alternative pendidikan (lihat; Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, hlm .87-89)
[3]       Qodri Azizy, Melawan Globalisasi, hal. 9

Selasa, 16 Agustus 2016

KAJIAN ULANG TERHADAP WAKAF UANG (Sebuah Pencarian Pemahaman dalam Buku Wakaf Uang Karya Sudirman Hasan)


Oleh : Moch Syamsul Arifin. Zrt

Membaca sekilas judul artikel di atas seakan-akan penulis menginginkan perbandingan atau ketidak-setujuan dengan istilah wakaf uang yang selama ini kurang akrab di telinga masyarakat. Namun tujuan sebenarnya adalah mencari penjelasan lebih lanjut dari pembaca terkait wakaf uang, khususnya yang terkandung dalam buku Wakaf Uang yang ditulis oleh Bapak Sudirman Hasan 2011 silam, dan juga agar kita lebih bijaksana dalam memilih istilah yang lebih diterima dan akrab dengan masyarakat dengan tujuan Islam yang Rahmatan Lil Alamin ini merakyat dan memasyarakat baik dalam hal amaliyah ataupun istilah-istilah di dalamnya.
Dalam kehidupan masyarakat tentunya sangat tidak asing lagi dengan kata wakaf yang pada prakteknya sering kita temui wakaf berupa tanah atau bangunan yang sifat bendanya tetap atau tidak hilang namun dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lama. Namun apakah masyarakat akrab dengan wakaf uang? Karena yang selama ini diketahui uang adalah benda bernilai yang disahkan oleh pemerintah untuk alat pembayaran atau menukar dengan barang lain atau jasa.
Bercermin pada definisi wakaf dalam beberapa kitab klasik semisal Fathul Qorib tertulis:
وهو لغة الحبس وشرعا  حبس مال معين قابل للنقل يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه وقطع التصرف فيه على ان يصرف في جهة الخير تقربا الى الله تعالى
Dalam tulisan ini Imam Ahmad bin Al-Husen bin Ahmad Al-Asbahaniy atau yang lebih dikenal dengan Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ menegaskan bahwa wakaf adalah menahan harta tertentu yang bisa dipindah kepemilikan dan bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghilangkan barangnya dan yang lebih penting penggunaan atau hasil dari barang yang diwakafkan hanya untuk kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dan lebih lanjut dalam hal ini tentu syarat barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang tidak hilang atau berkurang ketika diambil manfaatnya.
Dalam buku Wakaf Uang yang ditulis oleh mantan Ketua Elzawa UIN Malang ini memang banyak ditemukan referensi atau literatur-literatur mulai hadits sampai kitab-kitab klasik dan modern. Namun yang saya temui hanyalah berputar pada masalah definisi seakan-akan untuk mencari pembenaran atau dukungan hukum bolehnya wakaf dalam bentuk uang bahkan mengambil definisi dari komisi fatwa MUI tertanggal 11 Mei 2002[1]. Namun terlepas dengan pro atau kontra tentang wakaf uang yang perlu kita perhatikan adalah tentang syarat barang yang akan diwakafkan yaitu:
ان يكون الموقوف مما ينتفع به مع بقاء عينه
Bahwasanya sesuatu atau barang yang diwakafkan adalah sesuatu yang bisa diambil manfaatnya namun barangnya tidak berkurang atau hilang.
Dalam persyaratan ini sangat masuk akal apabila wakaf yang sering dipraktekkan oleh masyarakat adalah tanah, karena dalam kenyataannya tanah bisa menghasilkan manfaat baik dalam bentuk bangunan atau saham sebagaimana pertanian yang hasilnya dikelola untuk kemaslahatan baik tempat-tempat ibadah ataupun lembaga-lembaga pendidikan.
Sekarang kita kembali kepada topic utama yakni wakaf uang. Dari definisi dan persyaratan di atas, tentunya uang menjadi perhatian yang khusus dalam hal perwakafan. Di satu sisi uang adalah benda yang bernilai sebagai alat pembayaran yang sah yang tentunya ketika dikelola pasti akan hilang atau berkurang, atau bahkan uang akan bisa tertukar dengan uang yang lain dengan nilai yang sama. Di sisi yang lain, uang meskipun barangnya hilang atau tertukar, namun bisa saja nilainya (rupiahnya kalau di Indonesia) itu tetap, dan juga apabila uang ini dikelola dengan produktif maka bisa mempunyai manfaat atau hasil bahkan melebihi hasil pertanian (jika dalam hal ini dibandingkan dengan wakaf tanah, dan mungkin karena ini ada istilah lain untuk uang ketika uang itu menjadi barang pinjaman yang harus dikembalikan, yakni kalau kalau barang selain uang itu dinamakan akad ‘ariyah (pinjaman) karena hanya mengambil manfaat dengan tanpa mengurangi zatnya atau barangnya, sedangkan untuk uang itu diistilahkan dengan al-Qardhu (hutang-piutang) karena uang bisa hilang, tertukar atau habis, namun pengembaliannya sesuai dengan nilai yang dihutangkan. 
Terlepas dari sifat uang yang bisa hilang barangnya namun nilainya bisa tetap, kita mengulas kembali dalam fiqih, banyak Istilah sebenarnya dalam hal pengelolaan uang atau barang yang bertujuan dengan kebaikan atau taqorrub kepada Allah SWT seperti hibah, atau shodaqoh. Artinya terlepas dari pro dan kotra tentang Wakaf Uang, seyogyanya kalau mau bijaksana, untuk mengelola uang untuk kebaikan yang bersifat keagamaan tidak harus memakai istilah wakaf yang dalam syarat dan pendefinisan wakaf, uang hamper tidak masuk kategori barang yang diwakafkan. Hal ini selaras dengan qoidah fiqih disebutkan:
“keluar dari perbedaan adalah disunnahkan”
الخروج من الخلاف مستحب
Artinya jikalau ada pro kontra (berdasarkan definisi dan syarat wakaf, dan pengelolaan uang) ataupun kurang familiyar ditelinga masyarakat, setidaknya ketika uang ingin dikelola (ditashorrufkan) untuk kebaikan dan mendekatkan diri pada Allah SWT, maka tidak perlu uang tersebut diakadkan atau diistilahkan dengan wakaf, selain wakaf masih ada istilah shadaqah atau hibah yang fungsinya hamper sama dengan wakaf.
Semoga bermanfaat
Malang, 16 Agustus 2016



[1] Tertulis dalam buku wakaf uang halaman 21

Minggu, 14 Agustus 2016

MANUSIA DAN ETIKA (Sebuah Kajian Filosofis Manusia Perspektif Su-isme Internal dan Eksternal )




Oleh: Moch. Syamsul Arifin. Zrt*

“ Bonum Est Faciendum et Procequendum, et Malum Vitandum ”
( Yang baik harus dilakukan dan diusahakan, dan yang buruk harus ditinggalkan, dan yang baik adalah apa yang disetujui oleh umat manusia )
Thomas Aquinas: 1225-1274

Pendahuluan
Filsafat merupakan seperangkat pengetahuan dengan beberapa cabang yang mempunyai orientasi untuk memperoleh atau sekedar mencari dan mencintai kebenaran yang objeknya adalah Tuhan, alam, dan manusia dan subjek pemikirnya adalah menusia, karena disamping manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lainnya dengan diberikannya ilmu wal-amal[1] atau dengan kata lain; akal dan implentasinya, yakni emosional cuotiont, hasrat atau nafsu, dan diberi kekuasaan oleh Tuhan dalam memimpin atau mengelola Bumi[2]―yang dalam hal ini Fredrich Nithce mengungkapkan Der Will Ubermenc”, bahwa manusia makhluk yang berkehendak atau dalam bahasa inggrisny Will to Power―, juga manusia sebagai makhluk Homo Guriosus atau makhluk yang selalau mempunyai keingin-tahuan[3], maka dari rasa ingin tahu itulah manusia berfikir yang kemudian menjadi salah satu penyebab kemunculan filsafat.
Sebagai makhluk kepercayaan Tuhan, tentunya manusia harus berfikir jernih dalam mengendalikan alam, yakni dalam bertindak, manusia diberi batasan-batasan yang hal itu ditentukan oleh wahyu (perspektif agama: redaksional) dan pemikiran manusia (perspektif rasional) yang bertujuan mencapai kehidupan yang sejahtera yang kemudian memunculkan keindahan dan kesejahteraan dalam kehidupan sosial.
            Dalam kajian filsafat (tentang manusia) tentunya kita pernah mendengar cabang-cabang filsafat yang di antaranya Etika dan Estetika, memang keduannya mempunyai definisi subtansial[4] yang sama, yakni nilai keindahan yang ada pada manusia dan alam[5], namun perbedaannya, etika sebuah nilai keindahan yang melekat (internal diri) pada manusia yang diwujudkan dengan tingkah laku atau perbuatan-perbuatan yang kemudian disebut dengan moral, akhlaq, dan sebagainya, sedangkan estetika merupakan nilai keindahan yang melekat pada alam atau suatu benda yang dikeluarkan atau diciptakan oleh (eksternal dari) manusia yang merupakan perwujudan dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang biasa disebut dengan seni atau karya seni.

Manusia Ber-Etika
Secara epishtemologis, memang Etika yang berasal dari bahasa latin eticut  bagian dari cabang filsafat yang nilai kebenarannya bertolak belakang dengan agama, yang berkenaan dengan pembangunan pondasi rasional bagi tindakan-tindakan moral[6], namun bukan berarti agama tidak angkat bicara dan diam menanggapi satu kata yakni; etika, karena selain etika merupakan sebuah kajian tentang prilaku manusia, juga kalu kita merefresh kembali fikiran kita terhadap teori-teori agama salah satu contoh sabda Muhammad SAW “inniy bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” bahwasanya beliau diutus oleh Tuhan untuk menyempurnakan akhlaq atau dengan kata lain menata moral seorang hamba yang kemudian dibahas oleh pemikir-pemikir Islam yang kemudian memunculkan beberapa literature dalam Islam yang khusus atau sebagian isinya mengulas seputar prilaku manusia seperti; Taysirul Khalaq, Akhlaq Lil-Banin, Ihya’ Ulumud Din, Risalatul Mu’awanah, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini-pun—bukan hanya tokoh pemikir yang konsentrasi pemikiran atau disiplin ilmu-nya mengkhususkan kajian etika atau kajian sosial—seorang filusuf sekaligus tokoh pemikir pendidikan inggris; Herbert Spencer juga menyoroti prihal tetntang etika yakni dengan ucapannya Tujuan terbesar dalam pendidikan bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan[7]”, namun sebarapa banyak atau seberapa besar peranan tatanan moral yang telah terkonsep dalam agama (doktrin wahyu) dan rasio (ilmiyah; konsep sosial para pemikir Yunani, Islam, dan Barat yang tidak merujuk kepada wahyu), hal itu mempunyai pengaruh yang minim terhadap perilaku manusia, karena yang bisa mengatur perilaku manusia adalah manusianya itu sendiri[8], yang dalam firman Tuhan disebutkan “inallaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bi,anfusihim[9].
Dalam hal ini (Red: Etika) PMII yang merupakan organisasi kemahasiswaan yang mempunyai nilai ke-Islaman dan ke-Indonesia-an telah memberikan konsep tersendiri tentang etika yang merupakan interpretasi dari Nilai Dasar Pergerakan (NDP), yakni pertama,  Etika kepada Tuhan. Manusia sebagai makhluq Tuhan yang mempunyai nilai spiritual dalam dirinya yang kemudian muncul hubungan vertikal (hablum minal Ilah), maka sangat diperlukan selain meyakini eksistensi Tuhan tehadap kehidupan, juga memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhan sebagai Pencipta dengan beribadah dan mengabdi kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya “Wama Khalaqtul Jinna Wal Insa Illa Liya’buduniy”, kedua. Etika kepada sesama manusia. Manusia sebagai makhluq sosial yang saling membutuhkan dan tidak dapat hidup kecuali berdampingan dengan manusia yang lain yang memunculkan istilah hubungan horizontal (hablum minan nas), maka diperlukan untuk mensinergikan tatanan sosial, dengan tidak berpecah belah dan menjaga persatuan antar sesama. Perbedaan pendapat terhadap sebuah persoalan itu hal yang wajar, putus cinta adalah hal yang biasa dalam hubungan percintaan, namun bagaimana dengan konflik-konflik itu manusia bisa menjaga keharmonisan sosial dan menjaga tali silaturrahim antar sesama manusia sebagaimana firman Tuhan “Wa’tashimu Bihablillahi Jami’aw Wala Tafarraqu…[10], dan ketiga, Etika terhadap alam semesta. Dalam membina keselarasan hubungan horizontal, selain manusia selain makhluq sosial yang butuh kepada manusia lain, manusia juga tidak bisa lepas begitu saja dengan lingkungan (red; alam), yang kemudian kita kenal (hablum minal alam), karena selain alam merupakan tempat berpijak bagi manusia hidup, juga alam menjadi penopang dan pendukung biologis bagi kehidupan, oleh karena itu manusia harus melestarikan alam sebagaimana firman Tuhan “wala tufsidu fil-ardl ba’da ishlahiha; janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptkan dengan) baik[11]dengan menjaga kebersihan lingkungan, reboisasi, dan lain sebagainya. Mahasiswa Islam Indonesia sebagai makhluq yang beragama yang bukan sembarang makhluq dan bukan sembarang agama, selayaknya ketiganya itu (Etika kepada Tuhan, Manusia, dan Alam) didasari dengan keTAUHID-an dengan tujuan mensetralisasi diri kepada Tuhan agar fikiran dan tindakan dapat terarah dan tetap berada di jalan-Nya.

Semoga bermanfa’at
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Tharieq


Disampaikan pada acara Safari Ramadlan dan Buka Bersama, PC PMII Kab. Malang,
Pada Tanggal 22 Agustus 2010 dengan tema “Etika dan Estetika”


[1] Syaikh Ibrahim bin Isma’il Az-Zarnujiy, Ta’limal Muta’allimi Thariqat Ta’allumi, hlm. 2
[2] Lih. QS. Al-Baqarah[002]: 30
[3] Alfatih Geusang. R, Bengkel Ilmu Filsafat, hlm. 6
[4] Dalam kajian Logika definisi terbagi dua macam yakni; definisi aksidental dan definisi subtansial
[5] Bagian dari statement penulis

[6] Stephen Palmquist, The Tree of Philosophy; A cours of Introductory Lectures for Beginning Students of

   Philosophy, (alih bahasa, Moch. Shodiq, Filsafat Mawas; Kuliyah Filsafat Umum untuk Pemula), hlm. 164

[7]  Kevin Hogan, “The Psychology of Persuasiaon”, (alih bahasa Anton Adiwiyoto, Psikologi Persuasi), hal, 25.
[8]  Merupakan interpretasi dari ucapan Cicero Yang senantiasa berubah adalah perubahan itu sendiri
[9]  QS. Al-Anfal [008]:
[10]  QS. Ali-Imran [003]: 103
[11] QS. Al-A’arf [007]: 85

Laman