Oleh:
Moch. Syamsul Arifin, Zrt
“Manusia
tidak terpisahkan dengan pendidikan
bagaikan jiwa yang tidak terpisahkan dengan
raga”
(Suparlan
Suhartono: 2004)
Latar
Belakang
Manusia
meruapakan makhluq yang oleh Tuhan diciptakan untuk mengelola Bumi atau alam[1] dan
(sebenarnya) menjadi penakluk alam, namun dalam diri manusia terdapat dua
unsure, dua kekuatan dahsyat bernama arus jahat (necrophilia) dan arus
baik atau daya untuk hidup dan memberi kehidupan (biophilia)[2] yang
keduanya—berada dalam kejiwaan manusia—saling bertentangan dalam menanggapi
realitas kehidupan dan mendorong manusia untuk memunculkan sebuah perbuatan,
oleh karenanya untuk menjaga jiwa dalam mengaplikasikan perbuatan, maka manusia
perlu pendidikan dan harus berkecimpung dalam dunia pendidikan baik sebagai
pendidik maupun yang dididik—dan kemudian disebut makhluk berpendidikan—di
manapun dia berada, karena memang Tujuan terbesar dalam pendidikan bukanlah
pengetahuan, melainkan tindakan (Herbert Spencer)[3] yang
tidak lepas dari keterpengaruhan lingkungan.
Pendidikan
memang berpengaruh terhadap prilaku manusia, namun, pendidikan juga dipengaruhi
oleh lingkungan yang itu dibentuk oleh perilaku atau perbuatan manusia, oleh
karenanya kita harus mengetahui sesuatu yang mempengaruhi pendidikan yakni
lingkungan.
Definisi Dan
Fungsi
Pendidikan—yang dalam bahasa
Inggris education dan berakar dari latin educare, yang dapat diartikan
pembimbingan berkelanjutan (to lead forth) dan terminology tersebut jika
diperluas mencerminkan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke
generasi—merupakan system proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan
pematangan diri[4].
Pendidikan juga dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. (UUD 1945
tentang sistem pendidikan nasional tahun 2003)[5], oleh
karena itu, kegiatan pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja
dan dilakukan oleh siapa saja, karena usaha untuk melakukan sebuah pendewasaan,
pencerdasan dan pematangan—yang ketiganya sebenarnya bersifat metafisis[6]—merupakan
hak asasi manusia.
Lingkungan sebagai bagian yang tidak
terlepaskan dari dunia—unsur pendidikan baik manusia ataupun non manusia—pendidikan,
merupakan factor yang mempunyai peranan besar dalam tercapainya tujuan
pendidikan, sebenarnya lingkungan—dalam arti luasnya—mencakup iklim dan
geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam
dengan kata lain lingkungan adalah sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam
kehidupan yang senantiasa berkembang, baik berupa manusia ataupun benda[7] jika
dikaitkan dengan pendidikan, lingkungan merupakan alam sekitar yang ditemui
atau dialami oleh anak didik yang turut mendukung dalam tercapainya sebuah
tujuan pendidikan (sebagaimana yang tercantum dalam makalah kelompok tiga hal.
5) dan itu menjadi final oriented bagi terselenggaranya proses
pendidikan.
Sebagaimana uraian di atas (tentang
definisi lingkungan pendidikan), tidak diragukan lagi, bahwa fungsi lingkungan
pendidikan bagi anak didik atau bahkan pendidik menjadi nilai plus—pendukung—bagi
tercapainya tujuan dalam proses pendidikan, namun sebagaimana yang diungkapkan
oleh John Lock (1632-1704)[8], bahwa
realitas (red: lingkungan) adalah “tabularasa”, bagaikan kertas putih
dan manusia yang mengisi kertas tersebut baik buruknya tergantung metodhe atau
sesuatu yang diisikan.
Tripusat
Pendidikan
Lingkungan pendidikan—sebagaimana
definisi dan fungsi di atas—memiliki beberapa bagian atau pos-pos penting—tiga
komponen—yang jadi acuan dalam proses keberpengaruhan terhadap dunia pendidikan
yang melekat dengan anak didik di kehidupan sehari-hari yang kita kenal dengan
tri pusat pendidikan. Adalah sosok Ki Hajar Dewantara seorang pemikir
pendidikan warga Indonesia yang memperkenalkan istilah tripusat pendidikan—yang
arti etimologisnya tiga pusat pendidikan—yang dalam terminology praksisnya
mencakup lembaga sekolah (baik formal ataupun non formal) yang merupakan
institusi atau lembaga tempat berlangsungnya belajar-mengajar, yang
teroerganisir, keluarga yang merupakan pendidikan pertama bagi anak didik yang
dilakukan oleh orang tua, bahkan sebelum anak itu lahir (Heriditas) dan
masyarakat yang menjadi central of value,
karena merupakan intraksi anak didik dengan semua kalangan. Dan semuanya
(sekolah, keluarga, dan masyarakat) menjadi pendukung dalam terselenggaranya
dalam mencapai tujuan pendidikan atau lebih tepatnya ketiganya menjadi pusat
dalam terselenggaranya sebuah pendidikan.
Pengaruh Timbal Balik Antara Tripusat Pendidikan
Terhadap Perkembangan Anak Didik
Sebagaimana uraian dalam latarbelakang,
bahwa manusia (red: anak didik) tidak
terpisahkan dengan pendidikan dan dalam manusia terdapat dua kuatan yang
disebut necrophilia dan biophilia—keduanya merupakan
implementasi dari perkembangan anak didik—yang keduanya dapat dipengaruhi.
Berbicara
tentang pengaruh apalagi di dunia pendidikan tidak lepas dari nilai
kuantitas—contoh biasanya tercantum dalam judul skripsi—yang bisa dibuktikan
dengan angka, namun dalam makalah ini, penulis menyajikan perkembangan anak
didik yang dipengaruhi oleh tripusat pendidikan (sekolah, keluarga, dan
masyarakat) tanpa melalui penelitian, karena keterbatasan penulis.
Setidaknya
ada dua hal yang mempengaruhi perkembangan anak didik (kalu ditari ke teori
perkembangan yaitu: empisme, nativisme, dan konvergensi), pertama, heriditas yang merupakan keterpengaruhan anak didik yang
disebabkan keturunan (factor geneotik),
kedua lingkungan (baca: tripusat
pendidikan) yakni segala sesuatu yang ada pada sekitar anak didik hidup baik
kongkrit maupun abstrak[9].
Namun, keterpengaruhannya itu disesuaikan dengan fase anak didik.
Tripusat
selain mempengaruhi perkembangan anak didik, juga mempunyai hubungan kausalitas
yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi eksistensinya dalam kehidupan,
dengan artian perkembangan anak didik, juga mempengaruhi eksistensi sekolah
dalam kiprah pendidikannya di mata public, derajat (stratifikasi sosial)
keluarga, dan nilai social masyarakat tempat anak didik tinggal.
Namun, seberapa
besar-pun pengaruh sekolah, keluarga, dan masyarakat (yang menjadi pusat
berlangsungnya pendidikan) terhadap perkembangan anak didik, semua itu sekedar
pengaruh yang bukan menjadi pemeran utama dalam mencapai kesuksesan atau
perkembangan anak didik, dan yang paling utama adalah pribadi anak didik dalam
ketekunannya mendidik diri sendiri. (eM. Sya.Z)
ABSTRAKSI
Di tengah keramaian alun-alun kota ada dua remaja yang
duduk di taman alun-alun keduanya adalah Tukiman dan Legina yang keduanya
mahasiswa Tarbiyah STAI Raden Rahmat mereka teman kuliyah seangkatan. Sambil
memandangi keindahan kota
mereka berbincang-bincang mulai seputar tentang matakuliyah, dosen, sampai
pribadi mereka masing-masing, tak lama kemudian terlepas ucapan dari mulut
Tukiman setelah menghembuskan asap rokok “Legina…!” Legina-pun dengan reflex
menjawab “ya mas…!” kembali Tukiman melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong
oleh sahutan Legina “sebenarnya semenjak aku mengenalmu aku menyukaimu, maukah
kamu jadi pacarku? ” Legina tercengang
sejenak kemudian berkata”ow ya? Sejak berapa lama?” Tukiman kembali berucap
“sejak aku kenal kamu ya kira-kira tiga bulan yang lalu-lah” giliran Legina
berkata “Em…memang kenapa sih kamu jadi suka ama aku?” Tukiman tak kekurangan
akal dengan nada merayu, dia-pun menjawab “akupun tak mengerti, namun setiap
aku melihatmu tersenyum di siang hari, pada malam harinya aku tak bisa tidur
memikirkan kamu seorang” Legina tersipu malu dengan senyumnya yang manis dank
has, kemudian dia berkata “memang tak ada cewek lain yang lebih baik dariku?”
dengan hati jengkel dan nada membujuk Tukiman berkata “Please Legina…! Aku
butuh jawabanmu bukan pertanyaanmu” . . . .selanjutnya . . . . ?
Bagaimana komentar anda sebagai
calon guru atau dosen . . . ?
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Kepanjen, 26 November 2010
[1]
Lih. QS. Al-baqarah[002]: 30
[2]
Munawwir Yamin, Memanusiakan Manusia, hal. 52
[3]
Kevin Hogan, “The Psychology of Persuasiaon”, (alih bahasa Anton Adiwiyoto),
hal,25.
[4]
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan hal. 77-78
[6] Sebuah
terminology filsafat yunani yang dianggap sebagai filsafat pertama oleh
Aristoteles (384-322 SM) berasal dari kata metafisika yang berarti di balik
fisik dengan kata lain suatu hal yang tidak nampak namun ada. Baca:Asmnoro
Hadi, Filsafat Umum.hal 55
[7]
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, hal.63
[8]
Adalah seorang pemikir barat modern dengan teorinya Empirisme
[9]
Lih. Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, hal.
32